Hukum & Kriminal

Anggota DPR RI, Kurupsi Tak Bisa Gunakan Restorative Justice

×

Anggota DPR RI, Kurupsi Tak Bisa Gunakan Restorative Justice

Sebarkan artikel ini
Anggota DPR RI, Kurupsi Tak Bisa Gunakan Restorative Justice I PojokPublik

Pojokpublik.id Jakarta – Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, menyebut tindak pidana korupsi tidak bisa diselesaikan melalui restorative justice. Alasannya, kata Didik, korupsi termasuk tindak pidana yang merusak sendi-sendi, tatanan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Didik menjelaskan restorative justice muncul sebagai produk hukum peralihan dari positivisme ke progresif, dan secara umum hanya berisi pemulihan kembali hak korban dan keseimbangan perlindungan hukum bagi pelaku. Namun, kata Didik, restorative justice memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu dalam penerapannya.

“Tidak semua tindak pidana menurut hemat saya bisa diselesaikan melalui restorative justice. Banyak hal yang harus juga menjadi pertimbangan yang mendalam terkait dengan penerapannya,” kata Didik, Rabu (2/11)

Didik menyebut bahwa kasus korupsi harus dikecualikan dari tindak pidana yang bisa diselesaikan dengan restorative justice. Sebab, kata Didik, korupsi termasuk extra ordinary crime atau tindak pidana yang membutuhkan upaya luar biasa dalam penanggulangannya.

“Mengapa? Tindak pidana korupsi merusak sendi-sendi dan tatanan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, serta berdampak luas dan korbannya masyarakat. Tidak mungkin korban yang sangat banyak dan masyarakat luas ini bisa diidentifikasi satu per satu, didamaikan dengan pelaku, dan kemudian kepentingan dari korban ini misalnya diganti oleh pelaku,” ucap Didik.

Didik menjelaskan korban tindak pidana korupsi tidak bisa diwakili oleh aparat penegak hukum. Karena restorative justice bukan perdamaian antara penegak hukum dengan pelaku, tapi pelaku dengan korban.

“Apalagi sesuai Pasal 4 UU Tindak Pidana Korupsi pengembalian kerugian negara tidak menghilangkan penuntutannya. Artinya, penuntutan tetap dilanjutkan walau pelaku sudah mengakui perbuatannya dan mengembalikan hasil kejahatannya,” ujar Didik.

Lebih lanjut, Didik mengatakan penerapan restorative justice juga harus mempertimbangkan banyak hal. Di antaranya tidak menimbulkan keresahan atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme, bukan residivis, dan bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, serta tindak pidana terhadap nyawa orang.

“Idealnya restorative justice bisa dijalankan terhadap pidana umum yang ringan dengan didasarkan kepada perdamaian dari kedua belah pihak, harus mengandung pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku dengan melibatkan pelaku, korban dan keluarganya juga pihak terkait. Hal itu bertujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak,” imbuhnya.