Bekasi ll Pojokpublik.id ll Ketua DPRD Kabupaten Bekasi, membagikan beras fidyah khusus untuk Almarhum mertuanya, Haji Sarya Bin Haji Acih, kepada 11 yayasan yatim piatu dan pondok pesantren di wilayah Setu, kabupaten Bekasi, salah satunya di Istana Quran desa Ciledug, Yayasan Sahabat Yatim Nusantara desa Taman Rahayu, asrama yatim piatu desa Lubang Buaya, dan selanjutnya ke tempat yayasan yatim piatu dan pondok pesantren yang ada di wilayah Setu. Selasa (22-03-2022)
Menurut ketua relawan HM BH. Holik, ketua DPRD Yeti Lestari, tidak hadir pada saat pembagian beras fidyah, namun ada dari relawannya yang hadir mewakilkan untuk membagikan beras fidyah tersebut.
Adapun ketentuan fidyah menurut berbagai sumber sebagai berikut.
Menyadur Nu Online, Ustadz M. Ali Zainal Abidin dari Pondok Pesantren Annuriyah Jember, menjelaskan 2 pendapat terkait fidyah orang meninggal, yaitu pendapat dalam mazhab Syafi’i yang menyebut ibadah salat orang yang sudah wafat tidak dapat diqadha’i dan tidak bisa digantikan dengan fidyah orang meninggal.
Pendapat lain mengatakan Shalat yang ditinggalkan oleh mayit semasa hidup dapat diqadha’i. Seperti pandangan qaul qadim Imam As-Syafi’i : “Jika mayit meninggalkan harta warisan (tirkah) maka wajib bagi wali mayit untuk mengqadha’i shalatnya,”ucap
Sedangkan pendapat terakhir menyebut, setiap shalat yang ditinggalkan oleh mayit bisa digantikan dengan pembayaran fidyah berupa pemberian makanan pokok kepada fakir miskin sebesar satu mud. Menurut pendapat lain yang diikuti banyak ulama mazhab Syafi’i, wali memberi makan satu mud pada setiap salat yang ditinggalkan.
Imam Al-Muhib At-Thabari, berpendapat “setiap ibadah yang dilakukan untuk mayit bisa sampai padanya, baik berupa ibadah wajib ataupun ibadah sunnah”. Dalam kitab Syarah Al-Mukhtar dijelaskan:
“Mazhab Ahlussunnah wal jama’ah berpandangan bahwa seseorang bisa menjadikan pahala amal dan shalatnya untuk orang lain dan pahala tersebut bisa sampai padanya.” (Syekh Zainuddin Al-Maliabari, Fath Al-Mu’in, juz 2, hal. 276)
Sementara itu, Imam Al-Buwaithi berpandangan dari Imam As-Syafi’i, bahwa I’tikaf bisa digantikan oleh pihak wali, sedangkan dalam sebagian riwayat digantikan dengan memberi makanan (fidyah) atas ganti tanggungan I’tikaf mayit.
“Imam Al-Baghawi berkata : ‘Tidak jauh untuk memberlakukan hal ini dalam shalat, maka pihak wali memberi makanan (fidyah) satu mud atas setiap shalat’” (Syekh Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarh Al-Muhadzab, juz 6, hal. 372).
Jika mayit tidak mewasiatkan tentang shalat yang Ia tinggalkan lalu pihak wali mayit atau orang lain ber-tabarru’ (lepas tanggung jawab) untuk membayarkan fidyah, maka hal tersebut Insyaallah diperbolehkan hanya menurut pandangan Muhammad bin Hasan saja.
Kesimpulannya, fidyah orang meninggal bisa menggantikan salat yang ditinggalkan oleh mayit.
Cara pembayaran fidyah jika berpijak pada mazhab Syafi’i adalah memberi makanan pokok (beras) senilai satu mud (0,6 kilogram atau ¾ liter) kepada fakir miskin sebagai pengganti setiap satu salat yang ditinggalkan.
Sedangkan menurut mazhab Hanafiyah, pembayaran fidyah dapat berupa setengah sha’ (1,9 kilogram) gandum atau tepung atau satu sha’ (3,8 kilogram) kurma atau anggur. Wali mayit (anak, saudara, dll) juga dapat mengeluarkan fidyah berupa uang setara harga salah satu dari dua pilihan di atas.
( Misnan LL.B )