POJOKPUBLIK.ID JAKARTA – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, Profesor Romli Atmasasmita menyebutkan komplotan Novel Baswedan berjumlah 75 orang yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) memang tidak boleh dipertahankan di Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).
Dari TWK digelar Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Analisa Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia, Dinas Intelijen dan Dinas Psikologi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, 18 Maret – 9 April 2021.
Dari 1.351 pegawai dan penyidik KPK, sebanyak 75 orang di antaranya, termasuk Novel Baswedan dinyatakan tidak lulus TWK, sebagai konsekuensi logis alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang: KPK, serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, tentang: ASN.
“Mereka merusak system. Di institusi milik Pemerintah, tidak boleh ada bawahan yang bisa seenaknya mendikte atasan,” kata Romli Atmasasmita, Kamis (24/6/2021).
Romli mengatakan, Ketua KPK Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri bersama 4 komisioner lainnya, harus mampu membangun system di dalam pemberantasan korupsi. Sehingga sebuah lembaga pemberantasan korupsi, tidak boleh hanya tergantung pada kelompok orang dan tidak boleh dikendalikan sebuah kepentingan pragmatis.
Menurut Romli, ada penumpang gelap di balik polemik alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Selain itu, ia berpandangan, penentuan kelulusan TWK itu sudah sesuai aturan main atau ketentuan UU, sehingga, tak ada lagi yang perlu dipersoalkan.
“Kasus 75 eks KPK sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang: KPK dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, tentang: ASN. Tidak ada yang keliru,” kata Romli.
Romli menduga, reaksi pegawai KPK yang tidak lulus lebih karena sudah merasa berjasa dalam melakukan pemberantasan korupsi. “Mereka merasa tidak perlu ikut tes,” kata Romli.
Sejak revisi undang-undang KPK kelompok Novel Baswedan memang menolak karena ASN dibatasi usia 35 tahun dan paling tinggi 58 tahun. Sementara untuk jabatan deputi maksimal 60 tahun.
“Di antara mereka ada yang lewat batas waktu usia tersebut,” ungkap salah satu mantan anggota Perumus Undang-Undang KPK ini.
Diketahui, pegawai KPK yang masuk di dalam kategori 75 orang yang tidak lulus TWK, sudah nyaman menikmati privilege atau hak istimewa sejak tahun 2003 sampai dengan 2020 atau selama 17 tahun sebagai non-ASN dengan segala fasilitas tanpa ada yang mengawasi.
“Ada pihak eksternal yang jadi ‘penumpang gelap’ dalam penolakan tersebut karena kepentingan pribadi, politik dan golongan,” ujar Romli.
Pengaduan pegawai KPK yang tidak lolos TWK ke sejumlah lembaga seperti Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Mahkamah Agung hingga Mahkamah Konstitusi adalah hak sebagai warga negara yang dilindungi konstitusi.
Dikatakan, seharusnya sebagai penegak hukum dan paham hak sesuai konstitusi hanya ada dua mekanisme yang dibenarkan menurut undang-undang, yaitu ke Peradilan Tata Usaha.
“Kemudian, Mahkamah Konstitusi (MK) pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang mereka soal adalah Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 tahun 2020, yang seharusnya diuji ke Mahkamah Agung,” paparnya.