Pojokpublik.id Jakarta — Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAMI) akan menggelar serangkaian aksi damai dan diskusi publik dalam rangka memperingati 26 tahun Hari Reformasi. Kegiatan ini direncanakan berlangsung di sejumlah kota besar di Indonesia sebagai bagian dari upaya refleksi kritis terhadap capaian dan tantangan reformasi.
Koordinator Nasional HAMI, Asip Irama, mengatakan bahwa momen 21 Mei harus dijadikan pengingat bersama atas perjuangan rakyat dalam menegakkan demokrasi, keadilan sosial, dan supremasi hukum. Menurut dia, semangat reformasi kini tengah diuji oleh sejumlah dinamika politik dan kebijakan yang menyimpang dari cita-cita awal gerakan 1998.
“Reformasi tidak boleh direduksi menjadi seremoni atau slogan kosong. Ini adalah komitmen moral dan politik untuk menyehatkan demokrasi Indonesia. Maka dari itu, HAMI merasa perlu mengajak publik untuk melakukan evaluasi terbuka dan menyuarakan kritik yang membangun,” kata Asip dalam keterangannya di Jakarta, SRabu (14/5/2025).
Salah satu isu utama yang disoroti HAMI dalam peringatan reformasi tahun ini adalah bangkitnya kembali praktik dwifungsi TNI dan Polri dalam ranah sipil. Asip menyebut, sejumlah regulasi dan kebijakan memberi celah bagi keterlibatan personel militer aktif di jabatan pemerintahan sipil, yang bertentangan dengan semangat reformasi.
“Ini bukan hanya soal penempatan perorangan, tetapi soal arah demokrasi kita. Supremasi sipil adalah fondasi utama negara demokratis. Kembalinya dwifungsi dalam bentuk baru merupakan ancaman serius terhadap prinsip itu,” ujar Asip.
HAMI juga menyoroti pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semakin dirasakan sejak revisi Undang-Undang KPK tahun 2019. Menurut Asip, independensi lembaga tersebut kini diragukan, sementara komitmen negara dalam pemberantasan korupsi terlihat melemah.
“Reformasi lahir karena perlawanan terhadap korupsi dan otoritarianisme. Tapi hari ini, kita melihat praktik korupsi makin kompleks, sementara upaya pemberantasannya justru direm,” tambahnya.
Selain itu, pembatasan kebebasan sipil dan meningkatnya kriminalisasi terhadap aktivis, mahasiswa, dan jurnalis juga menjadi perhatian serius. HAMI mencatat berbagai kasus pelaporan hukum terhadap pihak-pihak yang mengkritik kebijakan negara, baik melalui media sosial maupun aksi lapangan.
“Padahal demokrasi membutuhkan kritik. Tanpa ruang ekspresi yang bebas, negara akan kehilangan kompas moral dan sosial. Demokrasi akan berubah menjadi alat kekuasaan semata,” kata Asip.
Melalui aksi damai dan diskusi publik yang akan digelar di kota-kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Makassar, HAMI ingin membuka ruang dialog antara masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh muda. Diskusi ini akan membahas tema-tema seperti reformasi sektor hukum, militerisme dalam demokrasi, dan masa depan partisipasi publik.
“Diskusi akan menjadi jembatan antara generasi reformasi dan generasi digital hari ini. Kami ingin memastikan bahwa nilai-nilai demokrasi dan keadilan tetap relevan dan dibicarakan secara terbuka,” jelas Asip.
HAMI juga mendorong pemerintah dan parlemen untuk mengevaluasi arah kebijakan negara yang bertolak belakang dengan agenda reformasi. Termasuk, menghentikan segala bentuk militerisasi birokrasi sipil, serta menjaga independensi lembaga pengawas dan penegak hukum.
Peringatan Hari Reformasi menurut HAMI bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Keterlibatan generasi milenial dan Gen Z dinilai sangat penting untuk menjaga kualitas demokrasi dan mendorong perubahan institusional secara berkelanjutan.
“Jika kita ingin melihat Indonesia yang lebih adil, transparan, dan demokratis, maka semangat reformasi harus dirawat bersama. Ini bukan perjuangan satu kelompok, melainkan agenda kolektif rakyat Indonesia,” pungkas Asip.