Nasional

Menstruasi Perspektif Agama

Avatar photo
×

Menstruasi Perspektif Agama

Sebarkan artikel ini

Abdurrahman Siregar

Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta

Email: regarisme@gmail.com

 

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Secara asbabun nuzul ayat ini menceritakan wanita yahudi yang sedang haid, mereka tidak mau makan dan tidur bersama,bahkan mereka menempatkan istri dirumah yang berbeda. kemudian para sahabat Nabi menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah, maka Allah ta’ala menutunkan firman itu, kemudian Rasulullah SAW bersabda “lakukanlah apa saja selain berhubungan badan,”

Maka Firman-Nya (فاعتزلوا النساء في المحيض) bias disimpulkan yang harus dijauhkan atau tidak disentuh hanya bagian kemaluannya saja. Hal itu didasarkan pada asbabun nuzul dan sabda  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Berbuatlah apa saja, kecuali berhubungan badan.” Oleh karena itu banyak atau bahkan mayoritas ulama berpendapat, bahwasanya dibolehkan menggauli wanita yang sedang haid kecuali pada kemaluannya.

Dalam sebuah hadis diceritakan “Akan kuberitahukan kepadamu tentang apa yang pernah dilakukan Rasulullah. Suatu hari beliau memasuki rumah dan langsung menuju ke masjidnya.” Abu Dawud mengatakan bahwa yang dimaksud masjid di sini adalah tempat salat di rumahnya. Dan ketika beliau kembali aku telah tertidur lelap. Saat itu beliau tengah diserang rasa dingin (kedinginan), maka beliau berkata kepadaku: “Mendekatlah kepadaku.” Lalu kukatakan kepada beliau: “Aku sedang haid.” Dan beliau pun berucap: “Singkaplah kedua pahamu.” Maka aku pun membuka pahaku, dan kemudian beliau meletakkan pipi dan dadanya di atas pahaku. Dan aku mendekapkan tubuh beliau sehingga terasa hangat, hingga beliau tertidur. (HR. Abi Dawud 270)

M Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan Mereka bertanya kepadamu tentang hukum menggauli istri di waktu haid. Berilah jawaban bahwa sesugguhnya haid itu adalah kotoran. Maka janganlah kalian gauli mereka selama masa haid, sampai benar- benar suci. Jika telah suci, gaulilah mereka di tempat yang seharusnya. Barangsiapa yang melanggar ketentuan itu maka bertobatlah. Allah menyukai hamba-hamba yang banyak bertobat dan bersuci dari segala kotoran dan kekejian.

 

Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan dalam tafisrnya Jalalain: (mereka bertanya kepadamu tentang haid atau tempatnya dan bagaimana memperlakukan wanita kepadanya. (Katakanlah, “Haid adalah kotoran atau tempatnya kotoran, (maka jauhilah wanita-wanita), maksudnya janganlah bersetubuh dengan mereka (di waktu haid) atau pada tempatnya (dan jangan lah kamu dekati meraka dengan maksud untuk bersetubuh sampai mereka suci) kata Yathurnna dengan arti mandi setelah terhentinya. Apabila merka telah suci maka datangilah mereka) maksudnya campurilah mereka ditempat yang diperintahkan Allah kepada mu) jauhilah di waktu haid, dan datangilah bagian kemaluannya dan jangan diselewangkan kepada bagian lainnya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat  dari dosa dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri dari kotoran.

Ayat tersebut terdapat dalam surah Al-Baqarah 222, secara tegas ayat tersebut adalah larangan untuk menggauli istri saat berada dalam haid. Tentu hal tersebut sangat berkaitan dengan kesehatan bagi para wanita. Istilah yang sering didengar oleh khalayak ialah Menstruasi, secara ilmu kesehatan proses keluarnya darah dari vagina yang terjadi diakibatkan siklus bulanan alami pada tubuh wanita. Siklus ini merupakan proses organ reproduksi wanita untuk bersiap jika terjadi kehamilan. Persiapan ini ditandai dengan penebalan dinding rahim (endometrium) yang berisi pembuluh darah. Jika tidak terjadi kehamilan, endometrium akan mengalami peluruhan dan keluar bersama darah melalui vagina.

Dalam kitab Risaalah ad-Dimaa’ ath-Thabi’iyyah li an-Nisaa’ dijelaskan bahwa haid, secara bahasa, berarti mengalirnya sesuatu. Sedangkan secara syar’i maknanya adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita secara alami tanpa sebab apapun di waktu-waktu tertentu.

Semua ulama mazhab bersepakat bahwa haid  akan dialami seorang anak perempuan minimal pada usia sembilan tahun. Jadi, menurut ulama Syafi’i, Maliki, Hanbali dan Hanafi,  jika anak perempuan belum mencapai umur sembilan tahun, namun sudah mengeluarkan darah dari tubuhnya, maka itu bukan darah haid, tapi darah penyakit.

Menurut ulama Mazhab Hanafi, sejak anak perempuan berusia sembilan tahun dan telah mengalami haid, berarti  sudah diwajibkan melakukan semua perintah agama, seperti shalat dan puasa. Setiap bulannya,   anak perempuan itu  akan mengalami keluarnya darah haid sampai pada usia 55 tahun. Dan jika setelah usia 55 tahun masih juga mengeluarkan darah, maka itu bukanlah darah haid. Kecuali, jika warnanya hitam atau merah tua, baru itu bisa dianggap darah haid.

Berhentinya darah haid pada usia tertentu itu, dalam ilmu fikih, dikenal dengan istilah iyas. Mengenai masa iyas ini, Mazhab Hanbali berbeda pendapat dengan Mazhab Hanafi. Menurut ulama  Mazhab Hanbali ini, masa iyas akan terjadi ketika seorang perempuan berusia 50 tahun. Dan jika pada usia tersebut seseorang masih juga mengeluarkan darah, maka itu tidak dianggap sebagai darah haid. Meskipun darah yang keluar berwarna hitam atau merah tua.

 

 

Mazhab Maliki berpendapat lain. Seseorang akan berhenti dari haid ketika berusia 70 tahun. Sedangkan Mazhab Syafi’i  menyatakan tidak adanya batas usia  haid.  Haid, menurut ulama Mazhab Syafi’i, bisa dialami semua perempuan, kapan saja selama ia masih hidup, sekalipun biasanya berhenti pada usia 62 tahun.

Status hukum
Ulama dari empat mazhab itu juga sepakat bahwa status hukum darah haid adalah najis. Dan, seseorang baru suci setelah darah itu berhenti keluar,  lalu ia melakukan penyucian besar, yaitu mandi. Kalau darah haid dihukumi najis, lantas bagaimana dengan tubuh orang yang sedang mengalami haid?

Menurut ulama terkemuka Syekh Yusuf Qaradhawi, semua anggota tubuh wanita yang haid, tidaklah najis. Ia berargumen pada sebuah riwayat dari Aisyah. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW meminta kepada Aisyah, “Bawakan kepadaku tikar kecil itu!,” Kemudian ‘Aisyah menjawab, “Saya sedang haid, wahai Rasulullah.” Maka Rasul SAW bersabda, “Inna haidhatiki laisat fii yadiki,” sesungguhnya haidmu itu tidak di tanganmu. (HR Bukhari).

Hadis tersebut secara tegas mengisyaratkan kesucian tubuh seseorang yang sedang haid. Karenanya, tutur Syekh Qaradhawi, ketika ia menyentuh benda apapun, termasuk juga air, tidak lantas membuatnya najis. Akan tetapi ada permasalahan lain yang muncul. Bagaimana jika ia menyentuh atau membaca Alquran?

Mayoritas ulama berpendapat, wanita yang haid dilarang mengerjakan ibadah-ibadah seperti halnya orang yang sedang junub. Termasuk juga menyentuh Alquran dan berdiam diri di dalam masjid. Sedangkan jika membaca Alquran, tanpa menyentuhnya, sebagian ulama membolehkannya. Tetapi ada pula yang melarangnya.

Imam Nawawi termasuk ulama yang melarang wanita yang sedang haid membaca Alquran. Sedangkan Imam Bukhari, Ibnu Jarir at-Thabari, dan Ibnu Munzir berada di pihak yang membolehkannya. Al-Bukhari menyebutkan sebuah komentar dari Ibrahim an-Nakha’i, tidak ada salahnya seorang perempuan yang haid membaca ayat Alquran.

Bahkan Ibnu Taimiyah, seperti dikutip oleh Syekh Muhammad al-Utsaimin dalam Fiqh Mar’ah al-Muslimah, menyatakan tidak ada satupun sunnah yang melarang perempuan haid membaca Alquran. Para perempuan Muslimah di zaman Rasulullah mengalami haid. Maka, jika saja membaca Alquran dilarang sebagaimana shalat, tentu sudah dijelaskan oleh Rasulullah SAW.

Lebih lanjut Ibnu Taimiyah berpendapat, manakala tidak ada satu riwayatpun dari Rasulullah yang melarang perkara ini, maka tidak boleh dihukumi haram. Karena, Rasulullah sendiri tidak mengharamkannya.

 

 

Diakhir tulisan ini penulis juga mencoba menafsirkan ayat tersebut yaitu: Mereka bertanya kepadamu tentang hukum berhubungan intim dengan istri saat haid. Maka sampaikanlah pada mereka bahwa darah haid adalah penyakit bagi pria dan wanita, maka janganlah kiranya kalian mencampuri istri dibagian keluarnya darah saat itu sampai bener-benar suci. Jika statusnya sudah suci maka campurilah istrimu dengan cara yang layak sesuai dengan anjuran Allah, dan jika kamu melanggarnya maka segeralah bertaubat, sesungguhnya Allah menyukai mereka-mereka yang bertaubat dan selalu mensucikan diri.