Pojokpublik.id Banten – Kebijakan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Rangkasbitung yang memulangkan empat siswa kelas XII kepada orang tua masing-masing usai menerima Surat Peringatan (SP) 3 menuai sorotan dari berbagai pihak.
Para siswa tersebut dikembalikan karena dinilai melakukan pelanggaran tata tertib sekolah, namun keputusan itu dianggap tidak sejalan dengan prinsip dasar pendidikan. Senin, 17 November 2025.
Ketua LSM Banten Corruption Watch (BCW) Kabupaten Lebak, Deni Setiawan, menuturkan bahwa sekolah seharusnya tidak mengeluarkan peserta didik hanya karena pelanggaran tata tertib internal, terlebih jika pelanggaran tersebut tidak termasuk tindak pidana.
Ia menekankan bahwa hak memperoleh pendidikan dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 31 ayat 1, yang menyebut setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu, menurut Deni, tidak ada alasan apa pun yang membenarkan penghilangan hak pendidikan seorang anak.
Deni juga mengutip UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mengamanatkan bahwa guru memiliki tugas utama mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, bukan mengambil tindakan yang memutus akses pendidikan.
“Bahkan dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang sedang menjalani pidana pun tetap memperoleh hak pendidikan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.” katanya, Sabtu (15/11/2025).
Menurutnya, berbagai regulasi seperti PP No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar dan Permendikbud No. 10 Tahun 2020 tentang Program Indonesia Pintar juga menegaskan bahwa pemerintah mewajibkan pendidikan 12 tahun yang harus dipenuhi seluruh anak usia sekolah. Dengan demikian, keputusan SMKN 2 Rangkasbitung dinilai tidak sejalan dengan semangat wajib belajar nasional.
“Pendidikan itu menuntun segala kodrat anak agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya, seperti yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara. Maka keputusan mengembalikan siswa kepada orang tua tanpa solusi pendidikan adalah sangat disayangkan,” ujar Deni.
Komisi X DPR RI: Sekolah Berhak Tegas, Tetapi Harus Komunikatif
Terpisah, Anggota Komisi X DPR RI, Ade Rosi, turut menyoroti kasus ini. Dalam keterangannya, ia menyatakan bahwa setiap anak memang berhak atas pendidikan sesuai UUD 1945. Namun, ia juga menegaskan bahwa sekolah memiliki aturan, etika, dan disiplin yang wajib dipatuhi semua pihak.
“Jika pelanggaran disiplin dilakukan berulang dan tidak mengindahkan peringatan, sekolah berhak mengambil sikap tegas. Tetapi harus dikomunikasikan dengan orang tua agar tidak terjadi pembiaran,” ungkapnya.
Rosi menambahkan, kasus ini muncul saat Komisi X DPR RI tengah membahas revisi UU Sisdiknas, yang salah satu fokusnya adalah penguatan wajib belajar 12 tahun serta pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan.
“Orang tua dan sekolah harus duduk bersama. Skorsing bisa menjadi opsi, sementara pengawasan dari orang tua harus lebih intensif,” tegasnya.














