Oleh: MS.Tjik.NG
Pojokpublik.id Tangerang,-
Dalam salah satu tulisannya, Denny JA mengusulkan agar malam Tahun Baru dipahami sebagai _“Hari Raya Bersama Umat Manusia”._
Gagasan ini tidak hadir di ruang kosong. Ia muncul di tengah dunia yang terfragmentasi oleh konflik agama, identitas, ideologi, dan nasionalisme sempit, serta di saat umat manusia tampak kehilangan simbol bersama yang mampu melampaui sekat-sekat partikular.
Secara sepintas, ide ini terdengar indah, progresif, dan penuh niat baik. Tahun Baru memang dirayakan hampir oleh seluruh umat manusia, lintas bangsa dan agama. Pergantian waktu adalah pengalaman universal.
Semua manusia apapun keyakinannya bergerak di bawah kalender yang sama. Dari titik ini, Denny JA melihat peluang untuk menghadirkan ritus kemanusiaan global, sebuah “hari raya” yang tidak berbasis agama, tetapi berbasis kemanusiaan.
Namun, justru karena ia menyentuh wilayah simbolik yang sangat sensitif yakni konsep hari raya gagasan ini layak dikritisi secara serius, jernih, dan adil.
Kritik bukan untuk menolak niat baik, tetapi untuk menguji: apakah gagasan ini secara filosofis kokoh, secara sosiologis realistis, dan secara kultural relevanterutama dalam konteks Indonesia yang religius dan plural?
Memahami Arah Pemikiran Denny JA.
Denny JA dikenal sebagai intelektual publik yang konsisten mengusung humanisme universal.
-888-
Dalam banyak tulisannya, ia mendorong agar umat manusia menemukan nilai bersama yang melampaui agama, etnis, dan ideologi. Usulan “Hari Raya Umat Manusia” harus dibaca dalam kerangka ini.
Ada beberapa asumsi dasar dalam gagasannya:
Manusia modern membutuhkan simbol bersama, bukan hanya hukum dan institusi.
Agama-agama terlalu partikular, sementara dunia semakin global.
Waktu (time) adalah pengalaman paling universal yang dimiliki semua manusia.
Karena itu, pergantian tahun layak dijadikan ritus refleksi kolektif.
Dalam perspektif humanisme sekuler, gagasan ini konsisten. Bahkan dalam sosiologi klasik, Émile Durkheim menegaskan bahwa masyarakat selalu membutuhkan ritus untuk merawat solidaritas sosial. Ketika agama melemah, ritus baru akan lahir dari ruang sosial sekuler.
Masalahnya, teori yang masuk akal di ruang akademik belum tentu berjalan mulus di ruang kultural dan religius.
Hari Raya: Simbol Sosial atau Simbol Sakral?
Kritik pertama yang paling mendasar adalah soal makna hari raya itu sendiri.
Dalam hampir semua tradisi besar Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha hari raya bukan sekadar perayaan sosial. Ia adalah:
penanda kesakralan waktu,
momen perjumpaan manusia dengan yang transenden,ritus yang terhubung dengan wahyu, sejarah suci, atau kosmologi.
Dalam Islam, misalnya, hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) tidak lahir dari kesepakatan sosial, tetapi dari legitimasi ilahiah. Ia bukan produk konsensus manusia, melainkan perintah Tuhan.
Ketika istilah “hari raya” digunakan untuk menyebut perayaan non-religius, terjadi pergeseran makna simbolik. Hari raya direduksi dari sesuatu yang sakral menjadi sekadar momentum sosial.
Di titik ini, kritik penting muncul :
Apakah menyebut malam Tahun Baru sebagai “hari raya” tidak sedang mengosongkan makna sakral dari konsep hari raya itu sendiri?
Humanisme Universal dan Bahaya “Agama Baru”
Secara historis, upaya menciptakan ritus universal sering berujung pada apa yang oleh para pemikir disebut sebagai “agama kemanusiaan”.
Auguste Comte, bapak positivisme, pernah merumuskan Religion of Humanity agama tanpa Tuhan, dengan manusia sebagai pusatnya. Gagasan ini gagal bukan karena niatnya buruk, tetapi karena manusia sulit hidup hanya dengan simbol buatan rasional.
Kritik ini relevan bagi gagasan Denny JA. Ketika kemanusiaan dijadikan sumber makna tertinggi, tanpa dimensi transenden, ia berisiko menjadi:
abstrak,
elitis,
dan jauh dari pengalaman spiritual masyarakat awam.
Di Indonesia, di mana agama masih menjadi sumber makna utama, gagasan “hari raya kemanusiaan” mudah dipersepsikan sebagai:
upaya sekularisasi simbol,
atau bahkan “kompetitor kultural” bagi hari raya agama.
Tahun Baru dan Realitas Sosial: Jauh dari Refleksi
Masalah kedua adalah realitas praksis.
Secara ideal, malam Tahun Baru dibayangkan sebagai:
momen refleksi,
doa lintas iman,
solidaritas global,
perenungan nasib umat manusia.
Namun, realitas di lapangankhususnya di Indonesia bercerita lain. Malam Tahun Baru identik dengan: pesta berlebihan,
konsumsi alkohol,
kebisingan simbolik (kembang api),
bahkan kecelakaan dan kekerasan.
Pertanyaannya: Apakah simbol bisa diubah hanya dengan niat baik dan narasi intelektual?
Sosiologi mengajarkan bahwa simbol sosial tidak lahir dari wacana elite, melainkan dari praktik kolektif yang panjang. Tanpa transformasi praksis, “Hari Raya Umat Manusia” berisiko menjadi slogan tanpa substansi.
Perspektif Islam:
Antara Muhasabah dan Penambahan Hari Raya
Dalam Islam, refleksi atas waktu adalah bagian penting dari spiritualitas. Al-Qur’an berkali-kali mengingatkan manusia tentang pergantian siang dan malam, umur, dan ajal. Muhasabah (introspeksi) adalah nilai inti.
-888-
Namun Islam juga tegas dalam satu hal:
tidak ada penambahan hari raya di luar yang telah ditetapkan.Karena itu, banyak ulama bersikap moderat: Refleksi Tahun Baru: boleh,menjadikannya “hari raya”: problematis.
Dari sudut ini, kritik terhadap gagasan Denny JA bukanlah penolakan refleksi kemanusiaan, melainkan penolakan terhadap pengaburan batas sakral dan profan.
Indonesia: Negara Religius, Bukan Negara Sekuler
Kritik ketiga menyangkut konteks Indonesia.
Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler radikal. Pancasila menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Artinya, kehidupan publik Indonesia tetap memberi ruang besar pada agama sebagai sumber nilai.
Mendorong simbol “hari raya kemanusiaan” tanpa sensitivitas terhadap struktur ini berpotensi:
menciptakan resistensi kultural,memperlebar jarak antara intelektual dan umat,
memicu salah paham yang tidak perlu.
Alih-alih menyatukan, simbol yang dipaksakan justru bisa memecah.
Alternatif: Dari “Hari Raya” ke “Momentum Refleksi Global” Namun kritik tidak berarti menutup pintu dialog.
Gagasan Denny JA tetap memiliki nilai penting jika direformulasi secara konseptual.
Alih-alih menyebutnya “hari raya”, malam Tahun Baru lebih tepat diposisikan sebagai :
momentum refleksi kemanusiaan global
Dengan demikian:
tidak mengganggu hari raya agama,tidak memaksakan sakralitas baru, tetap memberi ruang refleksi lintas iman.
Di sini, agama-agama justru bisa berkontribusi dengan caranya masing-masing, tanpa harus melebur dalam satu simbol tunggal.
-888-
Penutup:
Niat Baik Butuh Kebijaksanaan Simbolik
Gagasan Denny JA lahir dari keprihatinan yang sah: dunia yang terpecah dan kehilangan bahasa bersama.
Namun, solusi simbolik selalu berhadapan dengan medan budaya dan iman yang kompleks.
Hari raya bukan sekadar perayaan. Ia adalah identitas, iman, dan sejarah. Menyentuhnya tanpa kehati-hatian justru berisiko menimbulkan resistensi.
Mungkin tantangan terbesar zaman ini bukan menciptakan hari raya baru, tetapi mengembalikan makna kemanusiaan dalam ritus yang sudah ada agama, budaya, dan tradisi agar tetap relevan di dunia global.
Humanisme tidak harus menghapus sakralitas. Ia bisa tumbuh berdampingan, jika dikelola dengan kerendahan hati intelektual.
(D.Wahyudi)
Daftar Referensi
Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.
Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life.
Robert N. Bellah, Civil
Religion in America.
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan.
Auguste Comte, System of Positive Polity.













