POJOKPUBLIK.ID – Beberapa waktu belakangan ini kita dikejutkan oleh kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan beberapa perusahaan rintisan (Start-up) di Indonesia. Seperti yang dilakukan oleh dua startup ternama di Indonesia yakni Zenius dan LinkAja. Terbaru, perusahaan e-commerce JD.ID dikabarkan juga melakukan tindakan yang sama.
Sebelumnya, kita berharap perusahaan-perusahan itu menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, bisa menyerap lapangan kerja. Apalagi, di tengah-tengah pandemi Covid-19, banyak perusahaan konvensional yang melakukan pemutusan hubungan kerja.
Azka Aufary Ramli selaku pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Sumater Barat beranggapan bahwa fenomen PHK terjadi hampir seluruh sektor Start-up di Indonesia di tengah pandemi Covid 19.
Baca juga: Kejati DKI Abaikan Intruksi Presiden Jokowi, Ada Apa
“Ketika pandemi melandai, ternyata PHK juga terjadi di sektor lainnya. Perusahaan rintisan yang sudah melakukan PHK adalah Edutech Zenius, perusahaan pertanian Tanihub, pembayaran LinkAja, perusahaan furnitur Fabelio, fintech landing Uang Teman, dan penyedia layanan belanja daring atau e-commerce JD.ID.” Ujar Azka Jakarta 3/6/2022.
Beberapa peniliti dan pakar memprediksi bahwa dalam waktu ke depan PHK startup akan terus terjadi baik dalam skala besar maupun kecil. Apakah ini pertanda era bakar uang mulai berakhir dan perusahaan-perusahaan rintisan berada diambang colaps?
Menurut Azka, era ‘bakar uang’ untuk startup sudah berakhir. Karena saat ini para investor telah bergeser pada orientasi profit dan tidak mau lagi menambah ivenstasinya.
“Saat ini startup yang mendapat investasi lebih berada di sektor yang memberikan layanan seperti kecerdasan buatan, internet of things atau metaverse dengan AR dan VR-nya, itupun jika jika dalam 1-2 tahun ke depan tidak bisa survive atau naik jadi unicorn, maka startup level menengah ke bawah ini dipastikan akan colaps.” Pungkas Azka.
Memang beberapa tahun belakangan ini perusahaan rintisan menjadi primadona bagi para milenial untuk dijadikan sebagai tempat bekerja ataupun terjun langung sebagai pendiri sebuah startup. Namun, dengan adanya fenomen PHK massal ini, tentu para pekerja dan calon pekerja harus lebih mempersiapkan diri.
Besaran gaji yang dimiliki oleh para pekerja startup, dinilai menjadi beban tersendiri bagi perusahaan rintisan di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari tak seimbangnya pasokan antara tenaga kerja sektor teknologi dengan permintaan yang ada di industri startup Indonesia.
Menurut McKinsey, Indonesia membutuhkan 9 juta talenta digital selama periode 2015-2030. Yang dimana Indonesia membutuhkan 600.000 talenta digital setiap tahunnya. Namun, Perguruan Tinggi di Indonesia hanya mampu memenuhi sekitar 100.000-200.000 talenta digital setiap tahunnya. Dampakya sejumlah perusahaan harus berani memberikan penawaran gaji yang tinggi, sehingga mungkin berakibat pada arus kas yang tidak stabil.
Baca juga :CEO Presisinews Sambut Baik Pernyataan Jokowi Terkait Tolak Penundaan Pemilu
Azka beranggapan bahwa, para generasi muda Indonesia terutama yang bukan lulusan sektor teknologi jangan sampai menggantungkan cita-cita untuk bekerja di perusahaan startup saja, tanpa melakukan pengembangan diri, jika tidak ingin menjadi korban PHK dan menjadi penggangguran.
“PHK massal yang terjadi saat ini dan ditambah dengan banyaknya angka pengangguran, memaksa kita untuk harus bersiap diri dengan tidak bergantung pada sebuah perusahaan saja. Sehingga sangat perlu bagi kita untuk melakukan pengembangan diri baik secara keprofesian ataupun menambah keahlian tertentu.” ucap Azka.
“Solusi terhadap permasalahan tersebut adalah pengembangan secara personal. Mau tidak mau kita harus beradaptasi lagi untuk mencari peluang-peluang baru. Menambah keterampilan dan mungkin lebih baik lagi jika bisa belajar berwirausaha sejak dini.” Tambah Azka.
Namun, Azka juga berharap krisis yang saat inu melanda banyak perusahaan Startup di Indonesia bisa segera terlewati. Karena bagaimanapun, dengan adanya perusahaan rintisan dapat memberikan hal positif bagi pertumbuhan ekonomi pasca pandemi Covid 19.