Sosial PolitikNasional

Airlangga Hartarto Organisatoris Sejak Sekolah, Kuliah & Bisnis

Avatar photo
×

Airlangga Hartarto Organisatoris Sejak Sekolah, Kuliah & Bisnis

Sebarkan artikel ini
Airlangga Hartarto Organisatoris Sejak Sekolah, Kuliah & Bisnis I PojokPublik

POJOKPUBLIK.ID – Wakil Ketua OSIS SMA Kanisius Airlangga adalah anak kedua dari pasangan Hartini – Hartarto dari lima bersaudara. Gunadharma adalah kakak sulung. Tiga orang adiknya adalah Indira Asoka, Ghautama, dan Maya Dewi. Lima putra dan putri. Lima Pandawa. Tapi berbeda dalam nama pewayangan.

Terbaca sekali betapa dalam pengaruh tokoh-tokoh besar dalam kisah Mahabharata itu dalam pemberian nama anak-anak Hartarto. Bacaan-bacaan berat tentu menemani kesibukannya dalam kerja-kerja teknis industri dan ekonomi. 

Airlangga menempuh pendidikan dasar, menengah hingga atas di Jakarta. Persaingan kualitas terjadi di lingkungan sekolah swasta. Pengelola dan pengajar berasal dari para pendidik yang mayoritas berkebangsaan Eropa. Kualifikasi staf pengajar berkebangsaan Indonesia lebih tinggi dibanding sekolah negeri yang dikelola pemerintah.

Terdapat dua sekolah swasta yang paling menonjol di Jakarta, yakni Kanisius bagi laki-laki dan Tarakanita bagi perempuan. Airlangga menyelesaikan SD dan SMP di kawasan Menteng. Status sosial sebagai anak-anak orang kaya tentu melekat pada anak-anak Menteng ini. Sebagian kecil saja status itu berasal dari kedudukan orang tua sebagai pejabat pemerintah. Mayoritas malah pengusaha, diplomat atau saudagar.

Di luar Jakarta, pendidikan terbaik ditempuh di sekolah negeri. Bisa dihitung jari jumlah sekolah swasta yang bermutu, seperti Bogor, Bandung dan Surabaya. Usaha pemerataan mutu pendidikan dasar baru terjadi dalam era 1970an. Sekolah-sekolah Inpres (Instruksi Presiden) berdiri hingga ke pelosok Indonesia. Dari sisi pendidikan dasar dan menengah saja, siswa-siswa asal Jakarta lebih unggul. Bahkan sekolah-sekolah penghasil tokoh-tokoh pendiri bangsa peninggalan era kolonial, semakin kurang perhatian.

Airlangga masuk SMA Kanisius, Menteng, Jakarta Pusat, tahun 1978 hingga tamat tahun 1981. Di kelas dua, Airlangga mendapat kepercayaan menjadi Wakil Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). SMA itu bersebelahan dengan kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Persatuan Gereja Indonesia. Kawasan yang identik dengan basis pergerakan kaum muda pemberang dalam masa menjelang kemerdekaan itu, terus dipenuhi dinamika sosial politik.

Bisa dikatakan, tiada hari tanpa pergerakan mahasiswa, baik menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 1978, ataupun sesudahnya. Kampus UI Salemba menjadi salah satu titik sentral pergerakan mahasiswa, hanya beberapa kilometer dari lokasi SMA Kanisius. Mau tidak mau, Airlangga ikut menjadi saksi mata atas sejumlah pergerakan mahasiswa yang berlangsung di sekitarnya. Apalagi SMA Kanisius hanya beberapa ratus meter dari Taman Ismail Marzuki, salah satu lokasi favorit bagi para seniman untuk beraktivitas.

Ketika menyampaikan Pidato Pertanggungan Jawab pada tanggal 1 Maret 1978 Presiden Soeharto sempat menyinggung aksi-aksi mahasiswa yang terjadi. Soeharto mengatakan, antara lain:
“Gejolak politik di sekitar kehidupan kampus akhir-akhir ini menjelang Sidang Umurn MPR ini merupakan tantangan-tantangan terhadap usaha-usaha bersama kita untuk menumbuhkan kehidupan politik dan ketatanegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam menghadapi gejolak politik yang demikian itu saya ingin menegaskan bahwa dalam alarn demokrasi Pancasila yang sedang kita tumbuhkan itu, memang tidak dilarang adanya perbedaan pendapat, juga perbedaan pendapat dengan Pemerintah.

Tetapi perbedaan pendapat itu hendaknya disalurkan secara wajar dan harus mempunyai dasar yang wajar pula, sesuai semangat dan ketentuan-ketentuan UUD 1945.”

Dalam SU MPR itu juga, Soeharto terpilih sebagai Presiden. Adam Malik, mantan Menteri Luar Negeri dan Ketua DPR-MPR, terpilih sebagai Wakil Presiden.
Sebulan setelah dilantik, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef PhD mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri P dan K Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. SK 0156/U/1978 itu memuat 6 pasal ketetapan, yang antara lain berbunyi:

Pertama, menugaskan kepada para Rektor sebagai penanggungjawab tertinggi dalam kampus untuk melaksanakan normalisasi kehidupan kampus tersebut dengan penuh tanggungjawab sesuai dengan petunjuk yang telah digariskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam pidato pengarahannya pada Rapat Kerja Rektor tanggal 14 dan 15 April 1978.

Kedua, yang dimaksudkan dengan normalisasi kehidupan kampus adalah redefenisi dan penataan kembali kehidupan kampus secara mendasar, fungsionil dan bertahap.

Ketiga, oleh karena keadaan di berbagai perguruan tinggi berbeda-beda, maka para Rektor diberi kesempatan untuk mengadakan persiapannya mulai tanggal 17 April 1978 sampai tanggal 14 Mei 1978.

Keempat, para Rektor wajib memberi Iaporan tentang perkembangan usaha persiapan seperti tersebut pada pasal “ketiga” dan pelaksanaan seperti tersebut pada pasal “pertama” keputusan ini kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

SK tersebut ditetapkan pada tanggal 19 April 1978, dan langsung menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan mahasiswa. Soeprapto Boedi Santoso, mahasiswa Jurusan Teknik Sipil UGM, dalam surat pembacanya menilai:
“Saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa rekan-rekan saya hanya menelan ilmu sebagai produk dan bukan sebagai komunitas. Kehidupan kemahasiswaan terlalu disibukkan oleh kegiatan non ilmiah dengan mengatas-namakan kampus.”

Sekalipun terdapat mahasiswa-mahasiswa yang pro terhadap NRK, tetap saja berlangsung penolakan terhadap SK 0156/U/1978 itu yang berlangsung hampir di seluruh Perguruan Tinggi yang mempunyai Keluarga Mahasiswa (Student Government). Akibat perlawanan itu, sejumlah pimpinan mahasiswa ditangkap, sebagian diadili. Jumlah pimpinan mahasiswa yang ditangkap dan diadili itu terbanyak dibandingkan dengan zaman Hindia Belanda dan sepanjang Indonesia merdeka.

2.2. Ke Yogya, Hindari Kakak di Bandung
Ayah, Ibu, dan Airlangga sendiri tentu melihat betapa riuh-rendahnya aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa kala menamatkan SMA. Penolakan NKK – BKK sedang terjadi di setiap kampus. Akan tetapi bukan kondisi itu yang membuat Airlangga lebih memilik masuk Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada (UGM) pada 1981, ketimbang almamater ayahnya, ITB. Pengakuan Airlangga, keberadaan kakak kandungnya Gunadarma sebagai aktivis mahasiswa ITB lebih memberi pengaruh kuat. Airlangga tidak mau berada dalam bayang-bayang area jelajah dan kebesaran sang kakak.

Kalau di masa lalu, barangkali persaingan antar pangeran dari raja-raja di Pulau Jawa, terutama, seakan mengalir dalam darah Airlangga. Pangeran yang lebih senang “membangun kerajaan sendiri” atau “menguasai kerajaan baru”, ketimbang menginjak tapal batas bekas jejak kaki sang kakak. Namun, tentu bukan itu yang dikehendaki oleh Airlangga. Kebisingan pergerakan mahasiswa di Bandung terlihat kurang menantang kehendak Airlangga guna mencari area permenungan yang lain. Yogyakarta, bagaimanapun, adalah pusat dari Kerajaan Ngayogyakarta yang tetap diakui sepanjang republik.

Tidak heran, ia begitu nyaman menyandang status sebagai mahasiswa UGM. Ia pun tak menunjukkan ego yang menonjol dalam dinamika perebutan pengaruh dengan mahasiswa lain, terutama kalangan aktivis organisasi. Kalangan aktivis sezaman mengingat Airlangga sebagai sosok yang mudah bergaul. Penampilan kesehariannya sama sekali tak memperlihatkan karakter anak-anak Menteng. Walau tetap saja sulit bagi siapapun berteman dekat secara pribadi dengannya.

Yogya jauh lebih sepi dan sunyi dalam aksi-aksi massa, dibandingkan dengan Jakarta atau Bandung. Airlangga berkosentrasi penuh kepada mata kuliah yang diambil. Semester demi semester, jumlah mata kuliah semakin berkurang. Bakat kepemimpinan yang sudah diasah di lingkungan OSIS selama SMA kembali hadir. Airlangga mulai aktif di dalam organisasi jurusan dan fakultas, tanpa melalaikan tugas-tugas kuliah.

Dari Jakarta yang sibuk, berubah menjadi Yogyakarta yang kaya budaya, Airlangga tumbuh menjadi mahasiswa yang mandiri. Pengangkatan ayahnya sebagai Menteri Kabinet Pembangunan IV pada 1983 sama sekali tak mengubah apapun dari perilaku Airlangga di kampus yang terkenal sebagai Wong Ndeso itu. Aktivis mahasiswa sezaman mengingat Airlangga sebagai mahasiswa yang rendah hati.
Namun, ketelatenan dan kepemimpinan Airlangga memberi pengaruh di kalangan mahasiswa. Dengan jumlah mahasiswa yang paling sedikit, Airlangga terbilang sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Mesin pertama yang terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik UGM.

Sekalipun NKK/BKK berlaku, kedudukan Senat Mahasiswa di tingkat fakultas sama sekali tidak hilang. Yang tak berlaku adalah senat mahasiswa di tingkat perguruan tinggi. Universitas lebih bersifat multifakultas, ketimbang menganut prinsip-prinsip universalisme. 

Pembubaran Dewan Mahasiswa (Dema) di tingkat universitas dalam NKK-BKK, tentu menghalangi siapapun untuk berkiprah lebih lanjut. Padahal Dema adalah pengejawantahan dari pemerintahan mahasiswa (student government) dalam bentuk Ikatan Keluarga Mahasiswa (IKM), sesuai dengan statuta masing-masing perguruan tinggi. Mahasiswa-mahasiswa yang memiliki energi melimpah, lebih memilih kelompok studi sebagai area penjelajahan pemikiran dan ilmu pengetahuan.

Pembubaran Dema itu berpengeruh terhadap kiprah lebih lanjut dari ketua-ketua senat mahasiswa di tingkat fakultas. Sejumlah pimpinan mahasiswa membentuk forum komunikasi senat mahasiswa fakultas dan badan perwakilan mahasiswa fakultas di tingkat perguruan tinggi. Hanya saja, wadah itu bersifat informal dan tak diakui oleh pemerintah. Terjadi kanalisasi kepemimpinan mahasiswa di tingkat fakultas.

2.3. Bisnis, Kuliah Magister di Australia
Lulus kuliah tahun 1987. Airlangga masuk ke dunia bisnis. Sepanjang fase pergolakan politik mahasiswa Indonesia, Airlangga sama sekali belum memperlihatkan diri dalam organisasi manapun.

Sistem perkuliahan pada masa itu tidak seketat sekarang. Pembatasan masa studi belum sepenuhnya terjadi. Tidak heran, kalau kampus masih didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir. Sebutannya keren, MA alias Mahasiswa Abadi. Airlangga tentu tak masuk kategori itu. Enam tahun menempuh masa studi, plus aktivis mahasiswa yang menembus lapisan kepemimpinan intra kampus di UGM. Masa studi yang termasuk sedang untuk ukuran aktivis mahasiswa, namun lama bagi yang hanya mengejar kehidupan akademis.

Airlangga melangsungkan wisuda dengan gelar sarjana UGM, setelah melewati Pemilu 23 April 1987. Pemilu yang mulai menunjukkan keperkasaan Golongan Karya. Daerah-daerah yang semula identik dengan warna hijau, yakni PPP, mulai direbut oleh Golongan Karya. Gerakan protes kian terbatas, tak lagi dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung, tapi di daerah-daerah pembangunan bendungan, pabrik, hingga jalan dan jembatan. Ketika itu, developmentalism mencapai masa-masa keemasannya.

Tak segera melanjutkan studi ke jenjang pendidikan magister, Airlangga terjun sebagai pengusaha muda. Ia merambah sektor-sektor bisnis yang sama sekali baru. Airlangga menggerakkan perusahaan dari yang kecil, menengah, sampai besar selama lima tahun. Salah satu perusahaan yang memiliki daya saing tinggi justru dikelola lewat kerjasama yang sulit dan rumit dengan pengusaha asal Taiwan itu. Airlangga termasuk generasi pengusaha nasional yang pertama kali bekerjasama dengan Taiwan, negara yang selama setengah abad dikuasai Kekaisaran Jepang, lalu dinyatakan sebagai milik Republik Rakyat China (RRC) setelah Perang Dunia II.

Perusahaan yang dikelola Airlangga berhasil menguasai industri garmen dengan merek khusus, sehingga tidak lagi tergantung kepada merek yang berasal dari luar negeri.

“Pengusaha Taiwan memang dikenal licin bagai belut. Namun, saya punya cara guna menghadapi mereka,” ujar Airlangga, dalam suatu kesempatan. Airlangga tentu sadar, kelicinan pengusaha Taiwan tidak terlepas dari semangat yang muncul dalam diri setiap warga negara Taiwan sebagai bagian dari upaya mereka untuk melepaskan diri dari negara raksasa seperti RRC.

Dengan usia relatif muda, sebagai pengusaha yang sedang memasuki kehidupan bisnis yang sedang berubah, seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedang pesat pada akhir tahun 1980an, Airlangga tentu membutuhkan lingkungan yang berbeda dibandingkan kampus. Organisasi profesional yang ia pilih adalah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HPMI) yang didirikan pada tanggal 10 Juni 1972 oleh lulusan aktivis-aktivis mahasiswa era 1960an akhir hingga awal 1970an. Para pengusaha muda itu bukan saja berasal dari kelompok yang bernaung dalam bingkai organisasi intra kampus berupa student government, tetapi juga ekstra kampus berupa Organisasi Kemahasiswaan dan Kepemudaan (OKP).
Kehadiran HIPMI hampir bersamaan dengan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang berdiri tanggal 23 Juli 1973 sebagai wadah bernaung bagi OKP seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Sekalipun begitu, mayoritas para pendiri dan pengurus HIPMI berasal dari mantan-mantan aktivis kampus yang berpengaruh, seperti ITB dan UI. Jarang sekali alumni UGM yang bergabung dengan HIPMI. Bisa jadi, Airlangga termasuk alumnus kampus wong ndeso generasi pertama yang menjadi anggota dan pengurus HIPMI.

Jelang Pemilu 1987, sejumlah tokoh pendiri HIPMI direkrut menjadi lapisan profesional dari kalangan sipil dalam keanggotaan dan kepengurusan Golkar. Menteri Sekretaris Negara Sudharmono SH dikenal sebagai tokoh dibalik “bedol desa” belasan pengusaha muda yang bergabung dalam HIPMI yang melompat menjadi politisi itu. Sebagai Ketua Umum Golkar yang dilantik pada tanggal 25 Oktober 1983, Sudharmono menempatkan Sarwono Kusumaatmadja (ITB) sebagai Sekretaris Jenderal. Akbar Tanjung, Oka Mahendra, Soedarmadji dan David Napitupulu dijadikan sebagai Wakil Sekretaris Jenderal. Akbar dan David adalah tokoh KNPI.

Mereka juga yang menjadi lapisan pertama dari kalangan sipil, dibandingkan dengan purnawirawan militer dan pensiunan birokrasi yang banyak menghuni pimpinan organisasi Golkar. Jalur G (Golkar) dalam jajaran kepengurusan pusat menjadi kian semarak dengan kehadiran tokoh-tokoh sipil yang berakar di masing-masing kampus itu, setelah didominasi oleh Jalur B (Birokrasi) dan Jalur A (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dalam pimpinan daerah tingkat kabupaten dan provinsi. Dengan penuh semangat, mereka berkampanye di area-area pedalaman, sepanjang Pemilu 1987, sehingga mampu menaikkan suara Golkar dari 64% pada Pemilu 1982 menjadi 72% pada Pemilu 1987.

Kalangan yang identik dengan sebutan borjuis, ketika Eropa dilanda musim semi demokrasi. Mereka membedakan diri dengan tuan-tuan tanah (Land Lords) yang mewakili kelompok feodal, pangeran-pangeran berdarah biru yang mewakili kelompok bangsawan (oligarki), dan kalangan agamawan yang mewakili tafsiran kitab-kitab suci (teologi). No Borgeouis, No Democracy, menjadi slogan terkenal, sebagaimana dicatat oleh Barrington Moore.

Setelah lima tahun berbisnis, tepatnya pada 1992, Airlangga meneruskan studi di luar negeri, tepatnya di negara yang memberikan gelar insinyur kepada ayahandanya, yakni Australia. Tak cukup satu kampus, Airlangga juga kuliah di AMP Wharton School, University of Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, pada tahun 1993.
Selama empat tahun di Australia, Airlangga menggondol dua gelar master sekaligus, yakni Master of Bussiness Administration (MBA) dari Monash University di negara bagian Victoria, Australia, pada tahun 1996 dan Master of Management Technology (MMT) dari University of Melbourne, Australia, tahun 1997. Dua gelar master itu juga menunjukkan kesungguh-sungguhan Airlangga dalam menjalankan studi, mengingat sejumlah tokoh di Indonesia malah menyelesaikan studi dengan ijazah Australia, namun kuliah di Jakarta. Selama di Australia, Airlangga juga aktif dalam organisasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia.

Selain administrasi bisnis, bidang studi yang ia geluti termasuk masih langka, yakni teknologi komputer. Airlangga memiliki keahlian dalam merakit, memprogram, hingga memasarkan komputer yang masih asing bagi mayoritas rakyat Indonesia. Sekalipun sejumlah kampus di Indonesia sudah mendirikan Fakultas Ilmu Komputer, termasuk Universitas Indonesia, namun keahlian ini masih tergolong langka di Indonesia. Indonesia menjadi sasaran empuk dari piranti komputer yang berasal dari Jepang. Airlangga termasuk generasi pertama yang langsung menimba ilmu komputer di kampus luar negeri. Padahal, di Indonesia sendiri, masih sangat sedikit kaum terpelajar Indonesia yang menguasai ilmu komputer dengan baik.
Kiprah yang dijalankan Airlangga usai kembali ke Indonesia ternyata mendapatkan pantauan dari pihak Kedutaan Besar Australia. Sosok yang murah tersenyum dan mudah diajak berdiskusi ini dianugerahi Penghargaan Alumni Australia atau AAA (Australian Alumni Award) pada 2009 untuk bidang Kewirausahaan (Entrepreneursip). Ia dinilai berhasil mengembangkan perusahaan nasional dan mendorong iklim usaha yang lebih luas, termasuk dalam kerjasama ekonomi antara Indonesia dengan Australia.

AAA adalah pengakuan terhadap sumbangsih puluhan ribu penduduk Indonesia yang telah menuntut ilmu di sekolah, universitas dan politeknik di Australia. Selain bidang Kewirausahaan, AAA 2009 juga mendistribusikan penghargaan untuk bidang lain. 

“Saya gembira menyaksikan banyak alumni Australia merayakan tahun kedua Australian Alumni Awards. Acara ini merupakan bentuk pengakuan prestasi unggul para pemenang dalam bidang pilihan mereka,” kata Kuasa Usaha Australia untuk Indonesia Paul Robilliard di Jakarta, seperti yang dikutip Suara Karya dari blog pribadinya.

2.4. 1998, Berpolitik Lewat BM KOSGORO
Dalam buku yang ditulis oleh sejarawan Perancis yang bernama Dimitri Casali dan Oliver Gracia, tertuang simpulan sebagai berikut:

“ No one knows where he is going, if he does not know where he comes from. This is the challenge of history: learning to observe the past in order to better understand the present and try to anticipate the future. A task made possible because history repeats itself – at least twice, if not more.”

Airlangga seperti menyadari kalimat itu. Walau tidak mirip, ia seolah mengulangi perjalanan hidup Sang Ayah, Hartarto, dalam bidang pendidikan pascasarjana. Namun, perjalanan hidup yang tentu tidak diketahui oleh Airlangga adalah perubahan politik yang berlangsung di Indonesia, setelah kembali ke Indonesia. Sebagaimana dialami oleh Hartarto, tatkala kepemimpinan nasional beralih dari Sukarno kepada Soeharto, seorang Airlangga pun mengalami pergantian kepemimpinan dari Soeharto kepada BJ Habibie. Setahun setelah menyelesaikan studi magister, Airlangga mendapatkan situasi pergerakan mahasiswa dalam jumlah yang kolosal di Indonesia yang berujung dengan keputusan Presiden Soeharto untuk berhenti dengan cara meletakkan jabatan.

Namun, pilihan berbeda diambil Airlangga. Ketika Sang Ayah melanjutkan karier sebagai seorang Aparatur Sipil Negara alias birokrat dengan latar pendidikan dan pengalaman sebagai seorang insinyur yang kuat, Airlangga malahan masuk ke dalam organisasi Barisan Muda Kosgoro 1957 (BMK 1957) Kosgoro 1967 adalah onderbouw dari organisasi Kosgoro yang didirikan oleh Mas Isman, mantan Komandan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Jawa Timur pada tanggal 10 November 1957.

Kosgoro bersimbahkan semangat dan darah perlawanan rakyat Indonesia menghadapi pasukan Sekutu dalam peristiwa 10 November 1945 yang dijadikan sebagai Hari Pahlawan.

Keputusan untuk melangkahkan kaki ke dalam dunia politik itu, tentu tidak terlepas dari upaya Airlangga untuk menghindarkan diri dari hubungan patron client dalam tubuh Partai Golkar, khususnya, dan pemerintahan, umumnya. Selain Presiden Soeharto, terdapat sejumlah tokoh lain yang memutuskan untuk pensiun dari pemerintahan. Hartarto, Sang Ayah, adalah bagian dari tokoh yang memutuskan untuk tidak lagi berkiprah di pemerintahan, setelah seperempat abad mendapatkan pelbagai macam kepercayaan. Ketika Hartarto sudah tidak menjadi pejabat negara, Airlangga baru melangkah ke dalam tubuh organisasi kader Partai Golkar.
Di luar KOSGORO, terdapat SOKSI dan MKGR, sebagai trisula Kelompok Induk Organisasi (KINO) pendiri Sekretariat Bersama Golongan Karya pada tanggal 20 Oktober 1964. KOSGORO menghimpun kalangan usahawan, SOKSI mengkonsolidasikan kalangan pekerja (profesional), serta MKGR lebih terarah kepada pengembangan pendidikan.
Enam tahun setelah menjalani pergerakan organisasi, baik di dalam atau di luar Partai Golkar, Airlangga terpilih menjadi Ketua Umum BM KOSGORO periode 2004 – 2009. Tentu dalam usia yang tidak muda lagi, yakni 42 tahun. Rantai yang panjang dalam tata kelola dan kaderisasi kepemimpinan dalam tubuh Partai Golkar inilah yang sering menjadi titik tolak dari organisasi politik yang lain. Siapapun yang hendak memasuki organisasi yang berada dalam jejaring Partai Golkar, bakal menghadapi medan kesadaran yang menggentarkan dan mengerikan, jika dihadapkan dengan panjangnya antrian.