Pojokpublik.id Jakarta – Penyidikan merupakan tahap awal yang menentukan dalam proses peradilan pidana karena dari hasil penyidikanlah dapat ditentukan apakah suatu peristiwa dapat diajukan ke tahap penuntutan atau tidak. Oleh karena itu, penyidik memiliki posisi yang sangat strategis sekaligus tanggung jawab besar dalam menegakkan hukum.
Dalam praktiknya, sering ditemukan pelanggaran prosedur penyidikan, seperti penangkapan tanpa surat perintah, penahanan melebihi waktu yang ditentukan, pemeriksaan tanpa pendampingan penasihat hukum, serta rekayasa Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pelanggaran tersebut tidak hanya menimbulkan ketidakadilan bagi tersangka atau terdakwa, tetapi juga mencederai prinsip-prinsip dasar dalam hukum acara pidana, yaitu asas praduga tak bersalah, peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta fair trial.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk-bentuk pertanggungjawaban penyidik atas pelanggaran prosedural tersebut serta mengkaji mekanisme penegakan hukum terhadap penyidik yang terbukti melanggar ketentuan hukum acara pidana.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Sumber data utama berasal dari peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan berbagai putusan pengadilan yang berkaitan dengan pelanggaran prosedur penyidikan.
Selain itu, digunakan juga literatur sekunder berupa buku, jurnal ilmiah, serta hasil penelitian terdahulu untuk memperkuat analisis. Penelitian ini menyoroti bagaimana sistem pertanggungjawaban penyidik dalam kerangka hukum positif Indonesia masih menghadapi kendala dalam implementasinya, baik dari aspek kelembagaan, mekanisme pengawasan, maupun sanksi yang diberikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pelanggaran prosedur penyidikan umumnya meliputi: (1) pelanggaran hak tersangka, seperti tidak diberikannya hak atas bantuan hukum; (2) pelanggaran administratif, seperti tidak adanya surat perintah resmi dalam penangkapan atau penggeledahan; dan (3) pelanggaran substansial, yaitu tindakan penyidik yang menyebabkan munculnya alat bukti tidak sah (unlawful evidence). Menurut KUHAP, setiap tindakan penyidik yang bertentangan dengan ketentuan hukum dapat dikenai sanksi hukum baik secara pidana, perdata, maupun administratif.
Secara pidana, penyidik dapat dimintai pertanggungjawaban jika perbuatannya mengandung unsur penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP. Secara perdata, penyidik maupun institusinya dapat dituntut ganti rugi melalui mekanisme praperadilan sebagaimana Pasal 77 huruf b KUHAP.
Sementara secara administratif, penyidik dapat dikenai sanksi disiplin dan etik sesuai peraturan internal Kepolisian, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri. Namun, dalam praktiknya, mekanisme pertanggungjawaban penyidik masih lemah karena adanya kecenderungan korps tertutup dalam menindak pelanggaran internal serta rendahnya efektivitas pengawasan eksternal oleh lembaga seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) atau Ombudsman.
Banyak kasus pelanggaran prosedur penyidikan tidak ditindaklanjuti secara serius, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Faktor lain yang memperparah keadaan adalah rendahnya kesadaran hukum penyidik mengenai pentingnya menjunjung tinggi asas due process of law serta tekanan struktural dalam penyelesaian perkara yang seringkali menomorduakan keadilan substantif.
Berdasarkan temuan tersebut, diperlukan reformasi hukum acara pidana yang lebih menekankan akuntabilitas penyidik. Rekomendasi penelitian ini antara lain: (1) memperkuat lembaga pengawas eksternal terhadap aparat penyidik; (2) memperjelas mekanisme sanksi hukum bagi penyidik yang melanggar prosedur; (3) meningkatkan pendidikan dan pelatihan etika profesi serta kesadaran hak asasi manusia bagi penyidik; dan (4) merevisi beberapa ketentuan KUHAP agar lebih adaptif terhadap perlindungan hak tersangka dan transparansi penyidikan. Dengan demikian, penegakan hukum dapat berjalan sesuai asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
Kesimpulan penelitian ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban penyidik atas pelanggaran prosedur penyidikan bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan moral dan integritas penegak hukum. Penyidik tidak boleh memandang prosedur sebagai formalitas semata, melainkan sebagai sarana melindungi hak asasi manusia dalam proses peradilan.
Tanpa akuntabilitas penyidik yang kuat, maka cita-cita untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang adil dan beradab akan sulit tercapai. Oleh karena itu, reformasi pada tingkat normatif, kelembagaan, dan kultural menjadi keharusan agar hukum acara pidana Indonesia benar-benar dapat menegakkan keadilan bagi semua pihak.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Penyidik, Pelanggaran Prosedur, Hukum Acara Pidana, KUHAP, Akuntabilitas.
PENDAHULUAN
Proses penegakan hukum pidana di Indonesia diatur secara ketat melalui sistem hukum acara pidana yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukum acara pidana tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk menegakkan hukum materiil, tetapi juga sebagai mekanisme untuk melindungi hak-hak asasi manusia agar proses penegakan hukum berjalan secara adil, manusiawi, dan beradab.
Dalam konteks tersebut, tahap penyidikan memiliki posisi yang sangat penting karena merupakan pintu gerbang bagi seluruh rangkaian proses peradilan pidana. Kualitas dan keabsahan hasil penyidikan akan menentukan arah dan keberhasilan penegakan hukum pidana di tahap berikutnya, yaitu penuntutan dan persidangan.
Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan penyidikan seringkali tidak berjalan sesuai ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Tidak sedikit penyidik yang melakukan tindakan di luar batas kewenangan hukum, seperti melakukan penangkapan tanpa surat perintah, penahanan tanpa alasan yang sah, pemeriksaan tanpa kehadiran penasihat hukum, serta manipulasi berita acara pemeriksaan (BAP). Pelanggaran-pelanggaran tersebut jelas bertentangan dengan asas due process of law, praduga tak bersalah, serta hak atas perlindungan hukum yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional.
Akibatnya, keadilan substantif yang menjadi tujuan utama sistem peradilan pidana menjadi tercederai, sementara kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum semakin menurun.
Penyidik, sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, memegang tanggung jawab besar tidak hanya dalam menemukan kebenaran materiil, tetapi juga dalam menjamin bahwa proses hukum dilaksanakan secara sah dan adil.
Menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Dengan demikian, setiap tindakan penyidik harus dilakukan berdasarkan hukum dan etika profesi yang ketat, karena setiap pelanggaran prosedural dapat berimplikasi pada batalnya proses penyidikan, gugurnya alat bukti, bahkan bebasnya pelaku tindak pidana.
Masalah pertanggungjawaban penyidik atas pelanggaran prosedur penyidikan menjadi penting karena hingga kini belum ada mekanisme yang efektif untuk menegakkan akuntabilitas aparat penegak hukum di tahap awal peradilan pidana. Dalam banyak kasus, penyidik yang terbukti melakukan pelanggaran hanya dikenai sanksi administratif ringan, sementara korban pelanggaran tidak memperoleh pemulihan yang layak.
Mekanisme praperadilan yang disediakan KUHAP seringkali tidak berjalan optimal karena keterbatasan pemahaman masyarakat terhadap prosedur hukum dan masih kuatnya posisi institusional aparat penegak hukum. Hal ini menimbulkan kesan bahwa hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Lebih jauh, pelanggaran prosedural oleh penyidik juga berdampak sistemik terhadap kualitas peradilan. Banyak kasus pidana yang kemudian dibatalkan di pengadilan karena terbukti mengandung cacat prosedural sejak tahap penyidikan.
Situasi ini tidak hanya membuang waktu dan sumber daya, tetapi juga menurunkan kredibilitas lembaga penegak hukum. Padahal, asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang menjadi semangat KUHAP menghendaki agar setiap proses hukum berjalan secara efisien tanpa mengorbankan keadilan dan hak asasi manusia.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk-bentuk pertanggungjawaban penyidik atas pelanggaran prosedur penyidikan dalam hukum acara pidana Indonesia, serta menelaah efektivitas mekanisme hukum yang ada dalam menegakkan akuntabilitas aparat penyidik.
Selain itu, penelitian ini juga berupaya memberikan rekomendasi pembaruan hukum yang dapat memperkuat sistem pengawasan dan penegakan sanksi terhadap penyidik yang melanggar prosedur. Diharapkan, hasil penelitian ini dapat berkontribusi dalam pengembangan hukum acara pidana yang lebih berkeadilan, transparan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia
RUMUSAN MASALAH
1) Apa yang dimaksud dengan pelanggaran prosedur penyidikan dala hukum acara pidana
2) Pertanggung jawaban penyidik dalam hal terjadinya kesalahan penangkapan
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu metode penelitian hukum yang menitikberatkan pada kajian terhadap norma-norma hukum positif yang berlaku serta asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Pendekatan yuridis normatif dipilih karena isu yang dibahas berhubungan dengan analisis terhadap ketentuan hukum tertulis, khususnya yang mengatur mengenai tanggung jawab penyidik dalam pelaksanaan penyidikan berdasarkan hukum acara pidana di Indonesia.
1. Pendekatan Penelitian (Approach)
Dalam penelitian ini digunakan beberapa jenis pendekatan, yaitu:
• Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri, serta peraturan perundang-undangan lain yang relevan.
• Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach), dilakukan dengan mengkaji konsep-konsep hukum seperti pertanggungjawaban hukum, pelanggaran prosedural, dan akuntabilitas aparat penegak hukum untuk memberikan landasan teoritis terhadap pembahasan masalah.
• Pendekatan Kasus (Case Approach), yaitu dengan menelaah beberapa putusan pengadilan yang berkaitan dengan pelanggaran prosedur penyidikan, baik yang diajukan melalui mekanisme praperadilan maupun putusan pidana yang menyinggung penyalahgunaan wewenang oleh penyidik.
2. Sumber dan Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, yaitu:
• Bahan hukum primer, meliputi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan putusan pengadilan yang relevan.
• Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku hukum, artikel jurnal ilmiah, hasil penelitian, serta pendapat para ahli yang membahas tanggung jawab penyidik dan hukum acara pidana.
• Bahan hukum tersier, yaitu bahan pendukung seperti kamus hukum, ensiklopedia hukum, dan sumber lain yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) dengan menelusuri berbagai literatur hukum, peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan yang relevan. Penelusuran dilakukan melalui sumber cetak maupun sumber daring seperti portal Garuda Kemdikbud, Google Scholar, dan Jurnal Mahkamah Agung untuk memperoleh data ilmiah yang valid dan terkini.
4. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif, yakni dengan menguraikan, mengelompokkan, dan menafsirkan bahan hukum yang ditemukan untuk menjawab rumusan masalah secara sistematis. Analisis dilakukan secara deskriptif-analitis, artinya data yang telah diperoleh tidak hanya dijabarkan secara deskriptif tetapi juga dianalisis secara mendalam untuk menemukan hubungan antara norma hukum dan praktik yang terjadi di lapangan. Hasil analisis kemudian disusun dalam bentuk argumentasi hukum yang logis dan terstruktur untuk menarik kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk pertanggungjawaban hukum yang dapat dikenakan kepada penyidik atas pelanggaran prosedur penyidikan dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Apa yang dimaksud dengan pelanggaran prosedur penyidikan dala hukum acara pidana. Dalam sistem hukum pidana Indonesia, penyidikan merupakan tahapan awal yang sangat menentukan dalam proses penegakan hukum pidana. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidikan diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.
Dengan demikian, penyidikan bukan hanya aktivitas teknis, tetapi juga tindakan hukum yang harus dilakukan berdasarkan norma dan prosedur yang sah. Prosedur penyidikan dalam hukum acara pidana memiliki tujuan untuk memastikan bahwa setiap tindakan aparat penegak hukum mulai dari penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan, hingga pelimpahan perkara dilakukan dengan menghormati hak-hak tersangka, asas praduga tak bersalah, dan prinsip keadilan.Setiap tahap dalam penyidikan telah diatur secara rinci dalam KUHAP agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penyidik.
Oleh karena itu, prosedur penyidikan tidak boleh dianggap sekadar formalitas administratif, melainkan merupakan wujud konkret dari perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia (HAM).
B. Pengertian Pelanggaran Prosedur Penyidikan Pelanggaran prosedur penyidikan dapat diartikan sebagai setiap tindakan atau perbuatan penyidik yang bertentangan dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, baik secara substansial maupun administratif, dalam menjalankan fungsi penyidikan. Pelanggaran ini terjadi ketika penyidik tidak melaksanakan ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga menimbulkan akibat hukum berupa cacatnya proses penyidikan, batalnya alat bukti, bahkan dapat mengakibatkan gugurnya perkara.
Secara yuridis, pelanggaran prosedur penyidikan merupakan bentuk maladministrasi atau penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh aparat penegak hukum. Dalam konteks hukum pidana, hal ini dapat digolongkan sebagai tindakan melawan hukum apabila dilakukan dengan sengaja dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain, khususnya tersangka atau keluarganya.
Sementara secara administratif, pelanggaran prosedur merupakan bentuk pelanggaran terhadap disiplin dan etika profesi penyidik.
C. Jenis dan Bentuk Pelanggaran Prosedur Penyidikan Pelanggaran prosedur penyidikan dapat dibedakan menjadi tiga kategori utama, yaitu pelanggaran formal, pelanggaran materiil, dan pelanggaran terhadap hak asasi tersangka.
1. Pelanggaran formal, yaitu penyimpangan dari ketentuan administratif yang diatur oleh hukum acara pidana, seperti:
• Melakukan penangkapan atau penahanan tanpa surat perintah resmi, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan 18 KUHAP.
• Tidak memberikan pemberitahuan kepada keluarga tersangka saat penangkapan atau penahanan dilakukan.• Tidak membuat atau tidak menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) secara benar sesuai Pasal 75 KUHAP.
2. Pelanggaran materiil, yaitu tindakan penyidik yang secara substansi bertentangan dengan asas-asas keadilan dan kebenaran hukum, misalnya:
• Melakukan rekayasa kasus atau manipulasi alat bukti, seperti pembuatan BAP palsu atau tekanan terhadap saksi agar memberikan keterangan tertentu.
• Menghilangkan atau menyembunyikan alat bukti yang dapat menguntungkan tersangka.
• Melakukan penyidikan yang bias dan tidak objektif demi kepentingan tertentu.
3. Pelanggaran terhadap hak asasi tersangka, yang merupakan bentuk paling serius, meliputi:
• Tidak memberikan hak atas bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP) kepada tersangka sejak dimulainya pemeriksaan.
• Melakukan penyiksaan fisik atau psikis selama proses interogasi untuk mendapatkan pengakuan.
• Tidak menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan memperlakukan tersangka seolah-olah sudah bersalah. Ketiga bentuk pelanggaran tersebut menunjukkan bahwa pelanggaran prosedur penyidikan bukan hanya soal teknis administratif, tetapi menyentuh dimensi etika profesi, keadilan substantif, dan perlindungan hak asasi manusia.
4. Dampak Hukum dari Pelanggaran Prosedur Penyidikan Pelanggaran terhadap prosedur penyidikan dapat menimbulkan berbagai konsekuensi hukum, baik terhadap proses penyidikan itu sendiri maupun terhadap posisi hukum tersangka. Secara normatif, KUHAP memberikan mekanisme koreksi terhadap tindakan penyidik yang tidak sah, salah satunya melalui praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77–83 KUHAP, yang memberikan hak kepada tersangka atau pihak lain untuk mengajukan keberatan atas penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penetapan tersangka.
Selain itu, pelanggaran prosedur juga dapat menyebabkan batalnya alat bukti yang diperoleh secara tidak sah (unlawful evidence). Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa bukti yang diperoleh melalui cara yang melanggar hukum tidak dapat digunakan di pengadilan (the fruit of the poisonous tree doctrine). Dalam beberapa putusan pengadilan di Indonesia, hakim menolak alat bukti yang diperoleh melalui penyiksaan atau tekanan karena dianggap melanggar asas due process of law.
Lebih lanjut, penyidik yang terbukti melakukan pelanggaran prosedural dapat dimintai pertanggungjawaban hukum secara pidana, perdata, maupun administratif.Secara pidana, jika pelanggaran mengandung unsur penyalahgunaan wewenang atau kekerasan, penyidik dapat dijerat dengan Pasal 421 KUHP tentang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan.
Secara perdata, korban dapat menuntut ganti rugi atas tindakan sewenang-wenang melalui mekanisme praperadilan.Sedangkan secara administratif, penyidik dapat dikenai sanksi disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.
5. Urgensi Penegakan Prosedur dalam Penyidikan
Menegakkan prosedur hukum dalam tahap penyidikan merupakan bagian penting dari upaya mewujudkan sistem peradilan pidana yang adil, transparan, dan akuntabel. Pelanggaran prosedur penyidikan tidak hanya merugikan tersangka secara individual, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Oleh sebab itu, penyidik dituntut tidak hanya memahami hukum secara normatif, tetapi juga memiliki integritas moral dan kesadaran etis dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, pelanggaran prosedur penyidikan dalam hukum acara pidana adalah setiap tindakan penyidik yang menyimpang dari ketentuan hukum dan melanggar asas keadilan, baik secara administratif, materiil, maupun hak asasi.
Pelanggaran semacam ini harus dipandang serius karena menyangkut legitimasi sistem peradilan pidana itu sendiri. Tanpa kepatuhan terhadap prosedur hukum, penyidikan akan kehilangan fungsi utamanya sebagai sarana untuk menegakkan hukum dan keadilan secara berimbang.
Wewenangan Penyidik dan Penyelidik
Penyelidik
Berikut kewenangan yang dimiliki penyelidik berdasarkan tugasnya menurut Pasal 5 ayat (1) KUHAP:
1. Mendapatkan laporan atau keluhan tentang suatu tindak pidana dari seseorang.
Penyelidik wajib dan berhak menanyakan lebih lanjut setelah menerima laporan atau pemberitahuan dari seseorang. Laporan tersebut dapat mendokumentasikan suatu tindak pidana, atau bila ada alasan yang meyakini akan terjadi, maka penyelidik diberi amanah dan diperbolehkan menerima laporan disertai permintaan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengadili pelakunya serta mengajukan perkara yang mengakibatkan kerugian.
2. Mencari keterangan para saksi dan barang bukti.
Untuk mempersiapkan sebanyak mungkin fakta, informasi, dan bukti yang dapat dijadikan landasan hukum bagi dimulainya penyelidikan. Maka penyelidikan merupakan tahap pertama dalam proses atau merupakan komponen yang sangat penting di dalamnya. Investigasi yang dilakukan tanpa perencanaan yang memadai dapat berakhir ilegal atau termasuk kesalahan yang dilakukan oleh subjek investigasi.
3. Memberhentikan seseorang yang dicurigai serta memeriksa identitas seseorang.
Kewenangan ini dapat dibenarkan karena sulit untuk melakukan tugas investigasi tanpa kemampuan untuk memperkenalkan diri dan menanyakan identitas orang lain.
4. Melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan hukum dan memberikan tanggung jawab.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 menyatakan bahwa kegiatan selanjutnya, yaitu tindakan penyelidik untuk tujuan penyidikan dilakukan dalam keadaan sebagai berikut:
a. Menghormati hak asasi manusia;
b. Sesuai dengan persyaratan hukum yang memerlukan tindakan resmi;
c. Harus didasarkan pada evaluasi yang sesuai berdasarkan keadaan yang memaksa dan fakta-fakta yang meyakinkan;
d. Tindakan yang diambil harus tepat, masuk akal, dan konsisten dengan situasi;
e. Tidak bertentangan dengan aturan hukum apa pun.
Dengan petunjuk dari penyidik, penyelidik dapat memanfaatkan wewenang ekstra berikut ini:
1. Menghadapkan seseorang kepada penyidik;
2. Mengambil gambar dan sidik jari seseorang;
3. Pemeriksaan dan menyita surat-surat;
4. Penangkapan, melarang orang keluar daerah, melakukan penggeledahan dan penyitaan.
Peneliti menyusun laporan yang menjelaskan hasil dari implementasi langkah tersebut di atas dan mengirimkannya kepada penyidik.Kewenangan penyelidik juga mencakup kewenangan petugas penyidik. Karena itu, di samping memiliki kewenangan penyidikan, setiap penyelidik juga memiliki kapabilitas untuk menjalankan penyelidikan.
Kewenangan penyelidikan kini hanya sebatas melakukan penyelidikan.Di bidang hukum, aparat kepolisian yang ditugaskan melakukan penyelidikan oleh atasan atau pimpinannya selaku penyidik diberi tugas melakukan penyidikan.Pejabat yang melakukan penyidikan pada Kepolisian Negara disebut dengan penyidik reserse, dan penyelidikannya sendiri disebut dengan penyidikan/reserse (detective).
Penyidik
Menurut Pasal 1 ayat (2) KUHAP, penyidik memiliki tanggung jawab utama untuk mengumpulkan dan mencari bukti guna mengungkapkan kejelasan mengenai suatu tindak pidana dan menemukan pelakunya.
Wewenang penyidik, termasuk kebijaksanaan polisi (police discretion), menjadi sulit karena memerlukan pertimbangan cepat dalam menanggapi kejadian kejahatan pada tahap awal.Wewenang penyidik Polri dan pegawai negeri sipil berbeda. Tugas dan wewenang penyidik Polri antara lain tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP.
B. Pertanggungjawaban penyidik dalam hal terjadinya kesalahan penangkapan
Perkara salah tangkap bukanlah hal baru dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.Salah tangkap atau error in persona merupakan peristiwa di mana seseorang menjadi korban kesalahan prosedur penegakan hukum, khususnya dalam tahap penyelidikan atau penyidikan, sehingga individu tersebut mengalami penderitaan baik fisik maupun mental akibat tindakan aparat penegak hukum yang keliru. Secara yuridis, kesalahan dalam proses penyidikan atau penahanan merupakan bentuk nyata dari pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Kesalahan dalam penyidikan seringkali melahirkan berbagai pelanggaran HAM. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh sebab itu, aparat kepolisian sebagai penegak hukum memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa pelaksanaan penyidikan berjalan sesuai prosedur dan menghormati hak asasi setiap individu.
Sesuai Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dijelaskan bahwa setiap tindakan penyidikan harus mengedepankan hak atas rasa aman, perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, serta hak milik setiap warga negara.
Namun, pada kenyataannya, praktik di lapangan kerap menunjukkan adanya pelanggaran terhadap prinsip tersebut, misalnya tindakan kekerasan, intimidasi, hingga paksaan dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka.
Kesalahan penyidik dalam pelaksanaan tugasnya berdampak luas.Selain menciderai hak individu, kesalahan tersebut dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian dan sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Tindakan penyiksaan atau pemaksaan pengakuan dalam proses penyidikan merupakan bentuk pelanggaran hukum yang serius dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
KUHAP sebenarnya telah memberikan dasar perlindungan hukum terhadap tersangka agar tidak diperlakukan secara sewenang-wenang.Pasal 52 KUHAP menegaskan bahwa tersangka harus diperiksa dalam keadaan bebas dari tekanan, ancaman, atau paksaan.Artinya, penyidik wajib menghindari segala bentuk tindakan yang dapat menimbulkan ketakutan atau penderitaan bagi tersangka.
Pertanggungjawaban Penyidik dalam Pelanggaran Prosedur
Dalam konteks hukum acara pidana, penyidik adalah pejabat yang berwenang melakukan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana.Wewenang ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP, yang mencakup kewenangan untuk menerima laporan, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, serta pemeriksaan terhadap tersangka. Namun demikian, setiap tindakan tersebut harus dilakukan sesuai prosedur hukum dan prinsip kehati-hatian.
Penyidik dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terbukti melakukan pelanggaran terhadap prosedur penyidikan. Pertanggungjawaban tersebut dapat dibedakan menjadi tiga bentuk utama, yaitu:1. Pertanggungjawaban Hukum (Legal Liability) Penyidik dapat dikenai sanksi pidana apabila tindakan yang dilakukannya mengandung unsur perbuatan melawan hukum, seperti penyiksaan, penahanan tanpa dasar hukum yang sah, atau pemalsuan berita acara pemeriksaan.
Hal ini sejalan dengan asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dihukum kecuali berdasarkan undang-undang.
2. Pertanggungjawaban Administratif (Administrative Liability) Pelanggaran terhadap prosedur penyidikan juga dapat menimbulkan sanksi administratif, seperti teguran, penundaan kenaikan pangkat, mutasi, atau pemberhentian dari jabatan. Sanksi ini diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri, yang menuntut agar setiap anggota Polri berperilaku profesional, jujur, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya.
3. Pertanggungjawaban Etik (Moral and Professional Ethics)
Setiap anggota kepolisian wajib memegang teguh Kode Etik Profesi Polri.Pelanggaran terhadap kode etik mencerminkan ketidakprofesionalan dan merusak citra institusi.Oleh karena itu, pelanggaran etika dapat dikenai sanksi berupa peringatan keras, mutasi, hingga pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Batasan dan Prinsip Wewenang Penyidik
Wewenang penyidik yang begitu luas berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang jika tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang ketat. Karena itu, KUHAP memberikan sejumlah batasan dalam pelaksanaan wewenang penyidikan, yang meliputi empat ruang lingkup utama, yaitu:
1. Batas wilayah kekuasaan dalam penangkapan.
2. Batas jenis perkara yang dapat ditangani.
3. Batas subjek hukum yang dapat ditangkap.
4. Batas waktu dalam melakukan penahanan dan pemeriksaan.
Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, setiap tindakan penyidik harus berlandaskan dua asas utama, yaitu:
• Asas Legalitas, di mana setiap tindakan penyidik harus berdasarkan hukum positif yang berlaku.
•
Asas Kewajiban, yakni penyidik berhak bertindak atas dasar penilaiannya sendiri selama tindakan tersebut bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat serta tidak bertentangan dengan hukum dan kode etik kepolisian.
Dasar Hukum Penangkapan dan Penahanan
Menurut Pasal 17 KUHAP, penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang “diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.” Dengan demikian, terdapat dua unsur penting yang harus dipenuhi sebelum penangkapan dilakukan, yaitu:
1. Adanya dugaan keras terhadap seseorang sebagai pelaku tindak pidana.
2. Adanya bukti permulaan yang cukup, seperti laporan polisi, keterangan saksi, barang bukti, atau hasil penyelidikan yang valid.
Apabila unsur-unsur ini tidak terpenuhi, maka penangkapan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan menimbulkan tanggung jawab pidana bagi penyidik.
Selain itu, Pasal 18 ayat (3) KUHAP mengatur bahwa setiap penangkapan wajib disertai dengan surat perintah penangkapan, dan tembusannya harus disampaikan kepada keluarga tersangka.
Apabila hal ini tidak dilakukan, maka proses penangkapan menjadi cacat hukum dan berpotensi batal demi hukum.
Salah Tangkap sebagai Bentuk Pelanggaran HAM Salah tangkap merupakan bentuk nyata pelanggaran HAM yang serius.
Korban salah tangkap berhak memperoleh ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan 97 KUHAP.Namun, dalam praktiknya, pemenuhan hak ini sering kali tidak berjalan efektif karena lemahnya mekanisme pengawasan dan kesadaran aparat penegak hukum.
Negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan pemulihan kepada korban salah tangkap sebagai bagian dari kewajiban konstitusional dalam menjunjung tinggi martabat manusia.Pemberian kompensasi dan rehabilitasi harus dilakukan tanpa harus menunggu adanya gugatan dari korban, sebab perbuatan salah tangkap secara langsung melanggar hak fundamental atas kebebasan individu.
Penyidik sebagai aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga integritas proses peradilan pidana. Pelanggaran terhadap prosedur penyidikan bukan hanya mencederai asas keadilan dan kepastian hukum, tetapi juga mengancam martabat manusia.Oleh karena itu, setiap penyidik harus memahami secara mendalam prinsip-prinsip hukum acara pidana, asas legalitas, serta nilai-nilai etika profesi.Negara, melalui mekanisme pengawasan internal dan eksternal, wajib memastikan bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik mendapatkan sanksi yang tegas dan proporsional demi tegaknya keadilan dan perlindungan hak asasi manusia.
PENUTUP
Simpulan, Penyidik memiliki tanggung jawab hukum, administratif, dan etika dalam menjalankan tugas penyidikan. Pelanggaran terhadap prosedur penyidikan, seperti salah tangkap, penyiksaan, atau penahanan tanpa dasar hukum, merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan mencederai prinsip keadilan. Oleh karena itu, setiap tindakan penyidikan harus dilakukan sesuai ketentuan KUHAP dan peraturan perundang-undangan agar tercipta proses peradilan yang adil dan bermartabat.
Saran
1) Diperlukan peningkatan pengawasan internal dan eksternal terhadap kinerja penyidik.
2) Penyidik perlu mendapat pelatihan berkelanjutan tentang hukum acara pidana dan prinsip HAM.
3) Penerapan sanksi tegas harus dilakukan terhadap penyidik yang terbukti melanggar prosedur agar menimbulkan efek jera dan menjaga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.














