Pojokpublik.id Jakarta – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI memiliki peran penting dalam memberikan garansi perlindungan kepada masyarakat dari risiko produk obat dan makanan yang mengancam kesehatan. Namun, BPOM sebagai kepanjangan tangan pemerintah, masih membutuhkan sejumlah penguatan di beberapa aspek yang menjadi tanggung jawab terhadap masyarakat.
Demikian poin penting yang dapat dipetik dari dialog terbuka “Inovasi Kebijakan dalam Menghadapi Tantangan Pengawasan Obat dan Makanan” yang diselenggarakan Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani secara hybrid, Rabu (5/4/2023).
Pakar kebijakan publik yang juga dosen UNJANI Dr. Riant Nugroho, M. Si mengatakan ‘stunting’ merupakan permasalahan kesehatan yang sangat erat kaitannya dengan BPOM, sebab dipengaruhi faktor asupan makanan dan obat. Kondisi ‘stunting’ seseorang ditentukan sejak masih berupa janin di dalam kandungan. Asupan suplemen yang diperoleh janin saat dalam kandungan mempengaruhi tumbuh kembangnya, pun ketika sudah dilahirkan dan tumbuh, asupan makanan juga vaksin yang kemudian mengambil peran penting.
Baca juga ; BPOM Stop Obat Herbal Covid-19, Rio Capella Malah Bilang Khasiatnya
“Kalau apa yang masuk ke tubuh jelek, maka hasilnya juga jelek,” ucap Riant.
Ia pun memaparkan data yang menunjukkan bahwa 54 persen tenaga kerja di Indonesia mengalami ‘stunting’ sejak masih anak-anak. Selain itu, orang Indonesia meninggal lebih cepat enam tahun dibandingkan orang Cina, Malaysia, Thailand, dan Vietnam karena faktor ‘stunting’.
“SDM yang ‘lewat’ begitu saja ini tentu menjadi kerugian bagi bangsa. Bagaimana Indonesia mau mengejar pertumbuhan ekonomi dunia jika SDM-nya banyak yang mengalami ‘stunting’ dan meninggal di usia produktifnya,” ucap Riant.
Atas dasar itu, ia menilai pentingnya dilakukan penguatan peran BPOM selaku perpanjangan tangan pemerintah yang melakukan pengawasan terhadap obat dan makanan. Opini tersebut juga disampaikan Staf Ahli Bidang Pembangunan Berkelanjutan Drg. Agus Suprapto, M. Kes yang didaulat sebagai salah satu penanggap.
“Penguatan bidang pengawasan obat dan makanan menjadi keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan dan supaya ini eksis, dibutuhkan legalitas yang harus didukung negara agar keberadaannya benar-benar kuat dan peranannya makin nyata dalam menjaga siklus kehidupan masyarakat yang produkif dan berkualitas,” tuturnya.
Hanya saja, peran pengawasan ini idealnya dibagi dengan aktor lain, seperti masyarakat atau organisasi karena BPOM sebagai sebuah badan tidak bisa punya kuasa yang sangat penuh.
Sebab obat dan makanan mencakup seluruh siklus kehidupan manusia dan ada juga dinamika industri yang ikut terlibat di dalamnya.
Untuk berbagi peran pengawasan ini, edukasi terhadap unsur masyarakat juga organisasi ini dapat dilakukan melalui literasi bersama.
“Makanan dan obat ini penting diawasi, sehingga harus pandai-pandai juga menyampaikan literasi edukasinya kepada masyarakat karena bagaimanapun masyarakat merupakan pengawas utama yang ada paling depan, paling menentukan, dan memiliki pengalaman yang luar biasa dalam hal ini,” katanya.
Agus menegaskan bahwa apa pun undang-undang atau peraturannya, integritas dan independensi yang berbasis ‘evidence based’ dan keilmuan tertentu sangatlah penting. Tidak boleh ada kepentingan yang memakan sumber daya orang lain karena obat dan makanan ini tinggi unsur kemanusiaannya.
Ikatan Apoteker Indonesia Prof. Dr. apt. Keri Lestari, M. Si menyatakan kelembagaan BPOM saat ini kurang mumpuni untuk menyelesaikan kompleksitas permasalahan juga tantangan kesehatan dan kefarmasian yang terjadi saat ini.
“Size BPOM harus diperkuat supaya bisa menangani kompleksitas masalah yang terjadi,” ucapnya.
Sejumlah tantangan yang dimaksudnya itu antara lain tingginya jumlah produk ilegal ataupun palsu yang beredar di pasar tidak memadai untuk diawasi secara menyeluruh oleh SDM BPOM yang jumlahnya terbatas. Keterbatasan SDM dan sumber daya teknologi BPOM itu pula yang dapat menghambat realisasi kemandirian farmasi.
“Indonesia kaya akan sumber daya alam yang jika dikembangkan dapat menjadi inovasi mewujudkan kemandirian farmasi. BPOM harus bisa hadir dan memfasilitasi pengembangan riset yang dilakukan demi memperlihatkan keberpihakan untuk kemandirian farmasi,” katanya.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM Dra. apt. Togi Junice Hutadjulu, MHA mengatakan BPOM perlu memiliki kewenangan yang lebih kuat dalam pengawasan obat dan makanan sehingga berdasarkan benchmarking diharapkan kelembagaan BPOM menjadi lembaga yang independent dan memiliki pengaruh dalam memberikan jaminan produk yang aman, berkualitas dan bermanfaat serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
“Independensi dan konsistensi pengawasan pada model kelembagaan BPOM diharapkan menjadikan BPOM lebih mampu lagi dalam menghadapi tantangan global, strategic agility, dan adaptif serta responsif,” katanya.
Sejumlah aspek penguatan BPOM yang diharapkan meliputi penguatan fungsi regulatory termasuk pengawasan, penguatan fungsi penindakan, penguatan fungsi pengujian, penguatan fungsi koordinasi, penguatan kapasitas kelembagaan unit pelaksana teknis di daerah, mendorong kemandirian dan keterlibatan masyarakat, mendorong pelaku usaha mandiri menerapkan good manufacturing practice dan good distribution practice, serta penguatan sanksi hukum.