Daerah

Bangkit Menuju Indonesia Emas

Avatar of Editor
×

Bangkit Menuju Indonesia Emas

Sebarkan artikel ini
Bangkit Menuju Indonesia Emas I PojokPublik
Keterangan foto: Muhibbullah Azfa Manik Dosen Universitas Bung Hatta, Selasa (20/05/2025).

Pojokpublik.id Jakarta – Kebangkitan Nasional tak pernah lahir dari ruang hampa. Sejak 20 Mei 1908, saat Budi Utomo berdiri sebagai pelopor pergerakan nasional, sejarah mencatat bahwa kebangkitan hanya mungkin lahir dari kesadaran kolektif dan tekad untuk bersatu di tengah badai zaman. Hari ini, lebih dari seabad kemudian, Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan yang menuntut daya tahan dan solidaritas. Maka, tema peringatan tahun ini, “Bangkit untuk Indonesia Emas”, bukan sekadar slogan. Ia adalah panggilan.

Indonesia Emas, yang ditargetkan terwujud pada 2045, bukanlah mitos yang datang dari langit. Ia harus dibangun dari kerja keras hari ini: dengan mengatasi ketimpangan, menumbuhkan ekonomi yang inklusif, merawat demokrasi yang sehat, dan menyelamatkan lingkungan yang semakin rusak. Dan untuk itu, kita tak bisa hanya berjalan sendiri-sendiri.

Pasca pandemi dan Pemilu 2024, Indonesia memasuki fase pemulihan yang kompleks. Ekonomi nasional memang menunjukkan tanda-tanda pemulihan, tapi itu belum cukup untuk menjawab kegalauan di lapisan bawah. Inflasi pangan masih menekan rumah tangga, harga energi bergolak, dan dunia usaha kecil masih terseok menghadapi persaingan. Pertumbuhan ekonomi nasional belum benar-benar menyentuh seluruh rakyat, terutama mereka yang tinggal jauh dari pusat pertumbuhan.

Tak hanya ekonomi, arena politik pun masih menyisakan jejak luka. Polarisasi tajam saat kampanye Pemilu menyisakan jarak sosial yang tak mudah dijembatani. Perbedaan pendapat—yang seharusnya menjadi energi demokrasi—berubah menjadi jurang kecurigaan dan pertentangan. Media sosial dipenuhi serangan identitas dan politik dendam. Demokrasi, ironisnya, menjadi medan yang melelahkan.

Semua ini menjadi tantangan besar bagi semangat “Bangkit untuk Indonesia Emas.” Sebab kebangkitan itu mensyaratkan fondasi yang kuat: persatuan yang autentik, bukan palsu; dialog yang sehat, bukan saling bungkam. Tak mungkin membangun masa depan jika masih tersandera masa lalu yang belum selesai. Maka, momentum Hari Kebangkitan Nasional tahun ini perlu dimaknai sebagai ajakan untuk rekonsiliasi kebangsaan—bukan hanya di tingkat elit, tapi sampai ke jantung masyarakat.

Tantangan lain yang kian mendesak adalah krisis lingkungan. Perubahan iklim bukan sekadar isu luar negeri atau jargon akademis. Ia telah hadir di depan pintu: banjir, tanah longsor, polusi udara, dan cuaca ekstrem makin menjadi ancaman rutin. Deforestasi dan pencemaran sungai terus terjadi, seringkali demi dalih pembangunan. Bila ini dibiarkan, impian Indonesia Emas akan runtuh oleh fondasinya sendiri—karena tak ada masa depan di atas ekosistem yang hancur.

Ketimpangan sosial juga tetap menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh. Sementara Jakarta dan kota-kota besar bersaing memamerkan proyek infrastruktur dan teknologi canggih, banyak daerah tertinggal masih bergelut dengan listrik yang padam, sekolah yang reyot, dan layanan kesehatan yang timpang. Bonus demografi bisa berubah jadi beban demografi bila tak dikelola dengan cerdas dan adil.

Lalu, bagaimana caranya bangkit? Jawabannya bukan di satu meja kekuasaan saja. Bangkit berarti kerja kolektif lintas sektor—pemerintah, masyarakat sipil, pelaku usaha, akademisi, komunitas lokal. Ini saatnya membangun kepercayaan baru, bukan sekadar membagikan program bantuan atau proyek mercusuar. Kita membutuhkan tata kelola publik yang transparan, lembaga yang akuntabel, dan kebijakan yang mendengar suara akar rumput.

Pendidikan menjadi poros penting dalam strategi kebangkitan. Tapi bukan hanya soal kurikulum dan ujian nasional. Pendidikan harus mampu melahirkan warga negara yang berpikir kritis, adaptif terhadap perubahan, dan memiliki empati sosial. Pelatihan vokasional, akses ke teknologi, dan literasi digital menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda.

Sektor ekonomi pun harus diarahkan pada kemandirian dan ketahanan. UMKM—yang terbukti tangguh saat krisis—perlu didukung bukan hanya lewat modal, tapi lewat akses pasar, pelatihan bisnis, dan regulasi yang berpihak. Diversifikasi sektor industri juga penting agar Indonesia tak terus-menerus bergantung pada komoditas mentah yang mudah diguncang pasar global.

Adapun di sektor lingkungan, tak ada waktu lagi untuk basa-basi. Penegakan hukum atas pelanggaran lingkungan harus tegas, bukan kompromistis. Program pelestarian harus didukung dengan edukasi dan partisipasi masyarakat. Tak cukup dengan slogan ‘hijau’, kita butuh laku yang membumi.

Bangkit untuk Indonesia Emas bukan semata mimpi besar yang digantung di langit 2045. Ia harus mulai dibangun dari hari ini—dari ruang kelas, ladang tani, kantor kecil, hingga forum warga. Ia bukan sekadar narasi negara, tapi cerita yang tumbuh dari kehidupan rakyat sehari-hari. Dan ia hanya akan mungkin terjadi jika bangsa ini bersedia melampaui perbedaan, menyatukan energi, dan bersama-sama menyalakan kembali obor kebangkitan.