Opini

Menata Hati Menjaga Negeri, Tafsir Futūḥ al-Rabbānī dalam Etika Publik

David
×

Menata Hati Menjaga Negeri, Tafsir Futūḥ al-Rabbānī dalam Etika Publik

Sebarkan artikel ini
Menata Hati Menjaga Negeri, Tafsir Futūḥ al-Rabbānī dalam Etika Publik I PojokPublik
Oleh: Abah Elang Mangkubumi Baitul Muslimin Indonesia

Pojokpublik.id Jakarta – Krisis terbesar bangsa ini kerap tidak berangkat dari kekurangan regulasi atau lemahnya institusi, melainkan dari kaburnya orientasi batin para pengemban amanah. Ketika niat bercampur kepentingan dan kekuasaan kehilangan etika, hukum mudah dibelokkan, keadilan terpinggirkan, dan kepercayaan publik perlahan runtuh. Di titik inilah Futūḥ al-Rabbānī karya Syekh Abdul Qodir Jailani menemukan relevansinya yang tak lekang oleh zaman.

Kitab ini tidak berbicara tentang kekuasaan dalam pengertian struktural, melainkan tentang kekuasaan atas diri sendiri sebuah fondasi yang sering diabaikan, namun menentukan kualitas kepemimpinan publik. Syekh Abdul Qodir Jailani menegaskan bahwa kerusakan paling awal lahir dari hati yang kehilangan kejujuran. Amal tanpa ikhlas, kata beliau, hanyalah gerak tanpa ruh. Pesan ini terasa aktual ketika ruang publik dipenuhi retorika moral, tetapi miskin keteladanan.

Tawakal, dalam Futūḥ al-Rabbānī, tidak dipahami sebagai alasan menghindari tanggung jawab. Ia adalah adab memindahkan sandaran batin kepada Allah setelah ikhtiar ditunaikan. Dalam kehidupan bernegara, sikap ini melahirkan kepemimpinan yang bekerja sungguh-sungguh tanpa dihantui kecemasan kehilangan jabatan atau popularitas. Tawakal menumbuhkan keberanian moral kemampuan mengambil keputusan benar meski tidak selalu aman secara politik.

Syekh Abdul Qodir juga memberi peringatan halus tentang bahaya cinta dunia yang berlebihan. Ketika jabatan, harta, dan pengaruh bersemayam di hati, amanah mudah berubah menjadi alat pemuas kepentingan. Dunia, menurut beliau, cukup berada di tangan, bukan di hati. Tafsir ini menegaskan bahwa kekuasaan seharusnya diperlakukan sebagai sarana pelayanan, bukan tujuan yang dipertahankan dengan segala cara.

Kesabaran menempati posisi penting dalam kitab ini. Sabar bukan sikap pasif, melainkan adab menunggu futūḥ pembukaan ilahi yang datang pada waktu-Nya. Dalam etika publik, sabar berarti tidak tergesa melahirkan kebijakan demi kepentingan sesaat. Ia adalah kemampuan menahan diri agar keputusan tidak lahir dari tekanan, amarah, atau kalkulasi sempit.

Peringatan paling tajam dari Syekh Abdul Qodir Jailani tertuju pada rasa suci diri. Ujub, menurut beliau, adalah hijab paling berbahaya karena tampil dalam rupa kebaikan. Dalam kekuasaan, sikap merasa paling benar kerap menutup pintu koreksi dan melahirkan arogansi. Karena itu, taubat tidak dipahami sebagai peristiwa personal semata, melainkan sebagai kesadaran etis yang harus terus diperbarui agar kekuasaan tetap berpihak pada keadilan dan martabat manusia.

Ajaran-ajaran inilah yang sejalan dengan nilai yang diperjuangkan Baitul Muslimin Indonesia (BAMUSI): keberagamaan yang tidak berhenti pada simbol, tetapi hadir sebagai etika sosial. Agama mesti terwujud dalam keberpihakan pada yang lemah, keberanian menegakkan keadilan, dan komitmen menjaga kemanusiaan dalam setiap kebijakan.

Penutup

Pada akhirnya, Futūḥ al-Rabbānī mengajarkan satu kesimpulan mendasar: kekuatan sebuah negara tidak hanya diukur dari kokohnya sistem, melainkan dari jernihnya hati mereka yang memegang amanah. Ketika agama dijalankan sebagai etika publik jujur dalam niat, adil dalam kebijakan, dan bertanggung jawab dalam tindakan kekuasaan menemukan maknanya sebagai pelayanan, bukan dominasi.

Di tengah kebutuhan akan kepemimpinan yang berintegritas dan berpihak pada martabat manusia, ajaran Syekh Abdul Qodir Jailani mengingatkan bahwa menata batin adalah kerja awal menjaga negeri. Dari sanalah lahir keteguhan moral, kebijakan yang berkeadilan, dan harapan yang masuk akal bagi masa depan Indonesia yang beradab