Pojokpublik.id Jakarta – Keterlibatan seorang rohaniawan atau biarawati Buddhis bernama Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira dalam kasus pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), yakni Perkara Tindak Pidana Menyuruh Menempatkan Keterangan Palsu Kedalam Akta Autentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Pasal 266 KUHP), telah mencoreng institusi dan umat Buddha.
Karena itu, Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira harus segera dipecat dan diberhentikan dari rohaniawan Buddha, dan jangan berlindung di balik Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk (PIK) tempatnya bernaung.
Hal itu ditegaskan Bikkhu Bodhi Wijaya Ng Jagarapanno alias Banthe Bodhi, yang mengikuti proses perjalanan kasus ini sejak awal.
Banthe Bodhi adalah Banthe Penasehat Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) DKI Jakarta, dan anggota Sangha Dhammaduta Indonesia.
Banthe Bodhi juga turut mencoba melakukan mediasi persoalan ini, antara Bikuni Eva alias Suhu Vira bersama Terdakwa Aky Jauwan (Ayah dari Biksuni Eva Jauwan) dan keluarganya dengan Katarina Bonggo Warsito bertempat di Vihara Hemadhiro Mettavati Temple, di Jalan Mawar SCB, No 11, RT 11/RW 1, Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, pada 24 Februari 2024 jam 15.00 WIB, yang juga dihadiri 2 orang perwakilan dari pihak Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia yaitu Pak Andi Dela dan Pak Suratman, namun tidak memperoleh hasil yang memadai.
“Dari proses yang sudah berjalan, termasuk proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Biksuni Eva Jauwan atau Suhu Vira seharusnya diberhentikan dari keanggotaannya sebagai rohaniawan. Apalagi, kita melihat, Suhu Vira mengenakan jubah biksuni dalam proses hukum dan ke pengadilan, itu sangat tidak boleh,” tutur Banthe Bodhi ketika diwawancarai wartawan, Jumat (19/04/2024).
“Tindakan yang utama yang harus diberikan kepada Suhu Vira ini adalah Pemberhentian. Dan harus dikeluarkan, dan harus dilepaskan statusnya sebagai rohaniawan, karena diperiksa di Kepolisian, dan disidangkan di Pengadilan,” lanjut Banthe Bodhi.
Banthe Bodhi yang merupakan Banthe Penasehat Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) DKI Jakarta ini menegaskan, seharusnya, sejak awal proses pemeriksaan oleh penyidik kepolisian, Biksuni Eva alias Suhu Vira mestinya sudah dilakukan tindakan pemberhentian atau mundur dari rohaniawan.
“Harusnya sudah diturunkan pemberhentian atau mundur dari rohaniawan kepada Suhu Vira ini sejak awal,” ujarnya.
Apa yang dilakukan Biksuni Eva alias Suhu Vira dengan keterlibatannya dalam kasus pidana ini, lanjut Banthe Bodhi, sudah sangat merusak nama baik umat Buddha.
“Hal ini sangat merusak nama baik dan citra organisasi Buddhis di Indonesia dan seluruh dunia. Tentang rohaniawan yang melakukan pelanggaran sampai disidangkan oleh Negara, seharusnya cukup sidang internal saja sudah cukup bisa diredam. Mengapa dibiarkan begini?” ujarnya.
Banthe Bodhi yang pernah ikut melakukan mediasi atas persoalan ini menyebut, Biksuni Eva alias Suhu Vira berlindung di balik kekuatan-kekuatan tertentu, seperti orang-orang memiliki pengaruh di bidang hukum pada kepolisian maupun di Pemerintahan, melalui jalur Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk.
“Benar saya pernah melakukan mediasi tapi hasilnya kurang bagus, dan dihadiri pula dari pihak Kementerian Agama,” ujarnya.
Banthe Bodhi yang juga anggota Sangha Dhammaduta Indonesia ini menyebut, Biksuni Eva alias Suhu Vira tampak sekali berlindung di balik statusnya sebagai rohaniawan.
“Sejak kena kasus inilah Suhu Vira ini sudah harus tahu diri, harus mengundurkan diri sendiri, dan tidak boleh bertahan dalam status sebagai rohaniawan. Seharusnya sanksi sudah turun. Dalam hal ini, Suhu juga sudah tahu aturannya,” jelasnya.
“Langkah pertama yang seharusnya dilakukan oleh organisasi adalah memberikan sanksi berupa pemberhentian dan mencabut status Suhu-nya terlebih dahulu. Itu yang utama. Dan selanjutnya masih banyak lagi, karena dianggap berpotensi merusak nama baik, karena ketidakhati-hatian dalam menjalankan aturan,” lanjutnya menjelaskan.
Banthe Bodhi memperingatkan, dari kehadiran Biksuni Eva alias Suhu Vira di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang mengenakan jubah biksu, memperlihatkan bahwa Biksuni Eva alias Suhu Vira berlindung di balik status sebagai rohaniawan.
“Dari foto yang kita lihat di persidangan saja, status rohaniawannya belum dicabut. Berarti ada indikasi sengaja dilindungi,” ujar Banthe Bodhi.
Banthe Bodhi juga menyayangkan sikap Pemerintah melalui Dirjen Bimas Agama Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia, yang terkesan sangat lamban mengambil tindakan terhadap status yang kurang jelas seperti yang dilakukan Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira.
“Iya benar, di sinilah lemahnya Pemerintahan kita, dapat memanipulasi data, sehingga data baru bisa dibuat lama. Saya hanya bisa berdoa saja,” katanya.
“Suhu Vira ini pintar, sengaja dan sangat mengerti tentang aturan rohaniawan maka dia bertahan agar hukum susah menjangkaunya,” ujarnya.
“Suhu Vira ini juga bodoh karena dengan mediasi ini maka masalah hukum ini bisa diselesaikan secara internal, tidak perlu berkembang dan membuat kita semua malu,” sambung Banthe Bodhi.
“Pada dasarnya semua yang berstatus rohaniawan Buddha di mana pun dia berada, apabila sudah kena kasus, lembaganya harus mengeluarkan kebijakan agar dicabut dulu statusnya, terlepas dia benar atau salah dari hukum itu. Itu tegas dalam hukum dasar bagi Rohaniawan Buddha,” tandas Banthe Bodhi.
Terkait kasus ini, pihak Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia, yang menghadiri mediasi di Vihara Hemadhiro Mettavati Temple, di Jalan Mawar SCB, No 11, RT 11/RW 1, Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, pada 24 Februari 2024 jam 15.00 WIB, yaitu Pak Andi Dela dan Pak Suratman, tidak memberi respon ketika diminta konfirmasinya.
Sejumlah Petinggi dan Pengurus Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta, juga diduga bersengaja melindungi pelaku tindak pidana pemalsuan yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut).
Biksu atau Bhikkhu perempuan alias Bhikkhuni atau Biksuni bernama Eva Jauwan atau Eva, yang merupakan salah seorang Terdakwa dalam kasus pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), diduga berlindung di balik jubah Biksuni yang berada di Wihara atau Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara.
Bukan hanya berlindung, Biksuni Eva Jauwan yang bergelar Shifu atau Sefu alias Suhu Vira di Vihara Dharma Suci PIK itu juga diduga dilindungi oleh para petinggi dan pengurus Vihara Dharma Suci PIK yang didirikan Biksuni Zong Kai asal Medan, Sumatera Utara itu.
Biksuni Eva, ditahbiskan sebagai Biksuni pada tahun 2016 di Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk (PIK). Namun pada faktanya, Eva masih aktif mengurusi dan mengintervensi persoalan ini hingga kini. Hal itu juga dapat dibuktikan dengan dokumen tertanggal 07 Maret 2018, yang dibawa ke persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Kasus ini mencuat, ketika Katarina Bonggo Warsito alias Katarina BW, yang merupakan mantan menantu keluarga Jauwan, dan mantan kakak ipar dari Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira melaporkan persoalan ini ke Polisi.
Sudah memasuki tahun ke-5 sejak peristiwa dugaan penipuan dan pemalsuan yang dialami Katarina Bonggo Warsito dilaporkan kepada aparat Kepolisian, namun tak kunjung mendapat keadilan dan kepastian hukum.
Katarina Bonggo Warsito menyebut, ada oknum Biksu Perempuan atau Biksuni dan keluarga besarnya yang diduga kuat bermain praktik mafia hukum yang melibatkan oknum di Kepolisian dan Kejaksaan. Sehingga menyebabkan kasus Tindak Pidana Menyuruh Menempatkan Keterangan Palsu kedalam Akta Autentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Pasal 266 KUHP) yang terjadi Tahun 2017 di Jakarta Utara, mengalami jalan panjang dan berbelit-belit.
Dari penelusuran wartawan, Biksuni berinisial E (Eva-red), menjadi rohaniawan di salah satu Vihara di Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta, yaitu Vihara Dharma Suci Pantai Indah Kapuk.
Namun, dalam data Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia, E yang memiliki Kartu Rohaniawan dengan Nomor Registrasi : 119719781230202005 (tahun 2021) terdapat keanehan. Karena tidak ada foto diri rohaniawan di kartunya dan Dirjen yang menandatangani adalah Dirjen yang menjabat pada Tahun 2022. Waktu dikonfirmasi, disebutkan bahwa program sedang eror.
“Para Tersangka, termasuk Biksuni E tidak pernah dilakukan penahanan. Tapi di Surat Dakwaan kok para Terdakwa disebut dilakukan penahanan,” tutur Katarina Bonggo Warsito.
Bahkan Terdakwa Aky Jauwan (yang merupakan mantan mertua Katarina Bonggo Warsito), tampak sehat ketika hadir ke persidangan, dan tidak pernah ditahan.
Demikian pula, Biksuni Eva Jauwan alias Suhu Vira, hadir ke persidangan dengan memakai jubah biksuni, tidak pernah ditahan.
Sedangkan Tersangka Ernie Jauwan, sampai saat ini diinformasikan masih berada di Australia. “Namun tidak pernah dikeluarkan Red Notice atau memasukkan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh pihak aparat,” ujar Katarina Bonggo Warsito.
Perkara tindak pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024/PN Jkt.Utr ini, sedang bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut).
Persidangan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim bernama Syofia Marlianti T, dengan anggota Majelis Hakim Hotnar Simarmata (Anggota Majelis Hakim), dan Dian Erdianto (Anggota Majelis Hakim).
Perkara ini ditangani oleh Jaksa Peneliti dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Hadi Karsono, dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara (Kejari Jakut) atas nama Tri Nurandi Sinaga dan Dhiki Kurnia.
Penyidik di Polda Metro Jaya yang menangani laporan ini sejak awal adalah Aiptu Rudi Mustopa, dari Jatanras Polda Metro Jaya, yang menjadi Penyidik Pembantu Dirreskrimum Polda Metro Jaya, dan Kompol M Eko P Barmula SH. SIK. MH., yang sebelumnya merupakan Penyidik Dirreskrimum Polda Metro Jaya yang kini BKO (Bantuan Kendali Operasi) alias ditugaskan ke Kementerian Informasi (Kominfo).
Terkait pekerjaannya menangani laporan Katarina Bonggo Warsito di Polda Metro Jaya ini, Kompol M Eko P Barmula SH. SIK. MH., menyampaikan agar sebaiknya dikonfirmasi langsung ke Penyidik di Jatanras Polda Metro Jaya saja.
“Langsung ke Penyidik saja, Mas. Di Jatanras Polda Metro Jaya,” jawabnya singkat ketika dikonfirmasi wartawan.
Sedangkan, Aiptu Rudi Mustopa, dari Jatanras Polda Metro Jaya, yang menjadi Penyidik Pembantu Dirreskrimum Polda Metro Jaya dalam kasus ini, mengelak untuk memberikan pernyataan.
“Saya hanya Penyidik, Mas. Jikalau ada yang perlu untuk wawancara atau konfirmasi lewat Kabid Humas Polda Metro Jaya,” ujar Aiptu Rudi Mustopa menanggapi komunikasi wartawan yang meminta konfirmasi.
Sementara, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi yang dikonfirmasi wartawan lewat nomor selulernya, tidak memberikan respon.
Katarina Bonggo Warsito menjelaskan, awalnya, dirinya menikah dengan seorang pria bernama AM (Alexander Muwirto-Red) pada tahun 2008 silam. Mereka menikah secara agama Budha.
AM memiliki orang tua bernama AJ (Aky Jauwan -Red) dan berdomisili Jakarta Utara. Selain AM, AJ masih memiliki dua anak perempuan lagi, yakni EJ (Ernie Jauwan-Red) yang tinggal di Australia, dan E (Eva-Red) yang merupakan Biksuni di Vihara di daerah PIK.
Nasib kurang beruntung dialami Katarina Bonggo Warsito dan suaminya AM. Keluarga baru itu tidak dikaruniai keturunan, malah AM terus-terusan terlibat pada dugaan penggunaan judi dan narkoba.
“Akhirnya, kami bercerai pada sekitar dua tahun berikutnya, tanpa membicarakan gono gini,” ujarnya.
Setelah perceraian, korban pergi ke luar negeri untuk menenangkan diri selama 1 tahun lebih. Dan kembali ke Jakarta, setelah AM kembali berulah dengan membawa kabur cek kontan.
Dalam perjalanan tersebut tahun 2016, Ibu mertua yakni Ibunya AM meninggal dunia. Delapan bulan kemudian AM pun ikut meninggal dunia yang katanya jatuh di kamar mandi.
Setelah meninggal, mulailah permainan dari keluarga Almarhum AM untuk mengambil alih semua harta dengan cara memalsukan KTP dan membuat akta keterangan hak mewaris, serta akta pernyataan waris yang menyebutkan AM tidak pernah terikat perkawinan yang sah seumur hidupnya.
Dikarenakan selalu dipersulit dan bahkan dituduh melakukan pernikahan yang tidak sah, maupun berbagai dugaan pemalsuan yang sengaja dilakukan untuk menjegal Katarina Bonggo Warsito, akhirnya Katarina pun membawa persoalan ini ke proses hukum dengan membuat laporan ke Polda Metro Jaya pada 28 Mei 2021.
Nah, sejak saat itu, menurut Katarina, pihak keluarga mertuanya, yakni AJ, EJ yang tinggal di Australia, dan E yang merupakan Biksuni di Vihara PIK, terus-terusan melakukan upaya dugaan mafia hukum, agar kasus yang dilaporkan korban itu tidak diproses, dan tidak disidangkan sebagaimana mestinya.
Perkara ini sedang bergulir di persidangan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut). Sidang berikutnya dengan agenda Pemeriksaan Terdakwa akan dilanjutkan pada Selasa, 23 April 2024, di Ruang Prof R Subekti atau Ruang 7, Lantai 2, Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut).