Nasional

Menutup Tumpukan Sampah dengan Plastik di Kota Tangsel : Bukan Solusi, tapi Menunda Bencana

Avatar photo
×

Menutup Tumpukan Sampah dengan Plastik di Kota Tangsel : Bukan Solusi, tapi Menunda Bencana

Sebarkan artikel ini

Menutup Tumpukan Sampah dengan Plastik di Kota Tangsel : Bukan Solusi, tapi Menunda Bencana I PojokPublikOleh MS.Tjik.NG

Kota yang Tertutup Sampah, Bukan Dikelola

Pojokpublik.id Tangerang Selatan,-
Selama lebih dari satu bulan terakhir, warga Tangerang Selatan (Tangsel) dipaksa menyaksikan pemandangan yang seharusnya tidak pernah menjadi wajah sebuah kota modern: tumpukan sampah rumah tangga menggunung di trotoar, sudut pasar, bawah flyover, dan pinggir jalan utama, terutama di Kecamatan Ciputat dan wilayah lain yang padat penduduk. Bau menyengat, lalat beterbangan, tikus keluar di siang hari, dan air lindi mengalir ke saluran drainase.

Ironisnya, di tengah situasi darurat ini, yang tampak justru “solusi kosmetik”: tumpukan sampah ditutup plastik terpal. Sekilas terlihat rapi, seolah persoalan telah diatasi. Padahal, secara ilmiah, ekologis, dan kesehatan masyarakat, menutup sampah dengan plastik bukanlah solusi, melainkan cara sistematis untuk menunda—dan memperbesar—bencana.

Tulisan ini hendak menegaskan satu hal: krisis sampah di Tangsel bukan sekadar soal teknis kebersihan, melainkan kegagalan tata kelola lingkungan perkotaan, dan praktik menutup sampah dengan plastik justru memperparah dampaknya.

TPA Cipeucang Overcapacity: Masalah Struktural yang Disangkal

Akar persoalan krisis ini jelas: TPA Cipeucang telah lama berada dalam kondisi overcapacity. Kapasitas terlampaui, pengelolaan tersendat, dan sistem pengangkutan tidak lagi mampu mengimbangi produksi sampah harian kota yang terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi.

Namun, alih-alih mengakui krisis struktural ini secara terbuka dan menetapkan status darurat sampah, respons yang muncul justru bersifat reaktif dan parsial. Sampah dipindahkan dari satu titik ke titik lain, ditutup plastik, disemprot pewangi, lalu dibiarkan kembali menumpuk.

Dalam kajian kebijakan publik, ini disebut sebagai problem displacement, bukan problem solving. Masalah tidak diselesaikan, hanya dipindahkan lokasinya—dari TPA ke trotoar, dari halaman rumah ke bawah flyover.

Sampah Rumah Tangga: Bukan Benda Mati, tapi Proses Hidup

Kesalahan fatal dalam cara pandang terhadap sampah adalah menganggapnya sebagai benda mati. Padahal, terutama sampah rumah tangga, ia adalah entitas biologis aktif.

Sekitar 60–70% sampah kota di Indonesia adalah organik basah: sisa makanan, sayuran, buah, daun, dan limbah dapur. Sampah jenis ini tidak berhenti bekerja setelah dibuang. Ia terus mengalami proses:

pembusukan
fermentasi
degradasi mikrobiologis

Ketika sampah ini ditutup rapat dengan plastik, maka yang terjadi bukan penghentian proses, melainkan perubahan jenis proses: dari aerob (dengan oksigen) menjadi anaerob (tanpa oksigen).

Dan di sinilah bencana mulai diproduksi.

Plastik Penutup: Mengubah Sampah Menjadi Reaktor Gas Beracun

Dalam kondisi tertutup plastik, tumpukan sampah berubah menjadi reaktor biologis anaerob. Mikroorganisme anaerob akan berkembang pesat dan menghasilkan berbagai gas berbahaya, antara lain:

1.Metana (CH₄)
Gas mudah terbakar dan salah satu gas rumah kaca paling kuat. Akumulasi metana dalam ruang tertutup meningkatkan risiko kebakaran dan ledakan spontan.

2.Hidrogen sulfida (H₂S)
Gas berbau telur busuk yang bersifat toksik. Dalam konsentrasi tertentu, dapat menyebabkan pusing, mual, gangguan pernapasan, bahkan kematian.

3 Amonia (NH₃)
Mengiritasi mata, hidung, dan paru-paru. Sangat berbahaya bagi anak-anak, lansia, dan penderita penyakit pernapasan.

Menutup sampah dengan plastik berarti memerangkap gas-gas ini di tengah pemukiman, pasar, dan ruang publik. Bau memang sedikit berkurang di awal, tetapi bahaya justru menumpuk secara diam-diam.

Dari Bau ke Penyakit: Rantai Dampak Kesehatan Masyarakat

Krisis sampah bukan hanya persoalan bau tak sedap, melainkan ancaman kesehatan publik. Dalam waktu satu bulan, tumpukan sampah terbuka atau tertutup plastik telah cukup untuk menciptakan ekosistem penyakit.

1 Ledakan Vektor Penyakit

Sampah menjadi habitat ideal bagi:

Lalat → diare, disentri, tifus
Tikus → leptospirosis
Nyamuk → DBD, chikungunya

Di kawasan padat seperti Ciputat, risiko penularan meningkat secara eksponensial, bukan bertahap.

2 Air Lindi dan Kontaminasi Lingkungan

Plastik penutup menghambat penguapan, menyebabkan cairan pembusukan (lindi) terkumpul. Lindi ini mengandung:

bakteri patogen
senyawa kimia beracun
logam berat dari sampah campuran

Ketika lindi merembes ke tanah dan saluran air, ia mencemari air tanah dan drainase kota.

3 Ancaman Jangka Panjang

Paparan kronis terhadap lingkungan tercemar sampah berpotensi meningkatkan:

penyakit kulit
gangguan pernapasan
gangguan pencernaan
penurunan kualitas hidup warga kota

Plastik: Solusi Palsu yang Melahirkan Masalah Baru

Ironi terbesar dari praktik ini adalah menggunakan plastik salah satu sumber krisis lingkungan sebagai “solusi” krisis sampah.

Plastik penutup:

tidak terurai secara alami
akan pecah menjadi mikroplastik
mencemari tanah, air, dan rantai makanan

Dalam jangka panjang, mikroplastik berpotensi masuk ke tubuh manusia melalui air minum dan bahan pangan. Dengan kata lain, kota sedang menimbun masalah kesehatan generasi mendatang.

Ruang Publik yang Dirampas oleh Sampah

Trotoar, pasar, dan bawah flyover sejatinya adalah ruang hidup warga. Ketika ruang-ruang ini dikuasai sampah, terjadi bentuk ketidakadilan ekologis:

Pejalan kaki kehilangan hak berjalan aman
Pedagang kehilangan lingkungan usaha yang layak. Anak-anak dan lansia terpapar risiko kesehatan

Ini bukan sekadar soal kebersihan, tapi soal hak warga atas lingkungan sehat, sebagaimana dijamin dalam konstitusi.

Menunda Bencana, Bukan Mencegahnya

Menutup sampah dengan plastik adalah strategi penundaan, bukan pencegahan. Ia menciptakan ilusi keterkendalian, padahal secara ilmiah:

gas terus diproduksi
patogen terus berkembang
lindi terus mencemari
risiko kebakaran terus meningkat

Ketika hujan besar datang, plastik akan robek, sampah hanyut, drainase tersumbat, dan banjir lokal tak terelakkan. Saat itulah bencana yang ditunda meledak ke permukaan.

Apa yang Seharusnya Dilakukan: Dari Darurat ke Reformasi

Langkah Darurat (Immediate Response)

Penetapan status darurat sampah kota

Pengangkutan non-stop, termasuk malam hari

TPS sementara dengan ventilasi terbuka

Penyemprotan disinfektan dan pengendalian vektor

Langkah Menengah

Pemilahan sampah darurat (organik–anorganik)

Pengomposan skala kawasan

Kerja sama lintas daerah untuk pembuangan sementara

Langkah Struktural

Audit menyeluruh TPA Cipeucang

Investasi teknologi pengolahan (RDF, waste-to-energy)

Transparansi kebijakan dan anggaran persampahan

Edukasi publik berbasis komunitas

-888-

Penutup: Kota Tidak Boleh Hidup di Atas Sampahnya Sendiri

Kota modern diukur bukan dari gedung tinggi atau jalan lebar, melainkan dari kemampuannya mengelola limbah hidup warganya secara bermartabat. Tangerang Selatan hari ini sedang diuji.

Menutup tumpukan sampah dengan plastik mungkin terlihat cepat dan murah. Tetapi sejarah lingkungan dan ilmu pengetahuan menunjukkan: solusi instan hampir selalu melahirkan bencana jangka panjang.

Jika krisis ini terus diperlakukan sebagai gangguan sementara, bukan kegagalan sistemik, maka Tangsel sedang menyiapkan bom waktu ekologis di tengah permukiman warganya sendiri.

Dan ketika bom itu meledak, plastik tidak akan bisa menutupinya lagi.

Disini semakin terasa mengenaskan ketika motto Kota Tangsel yang ideal itu, Cerdas Modern dan Religius (CEMOR) tidak konek di tataran aplikasi lapangan .

 

 

Editor : D Wahyudi
Referensi :

1. Tchobanoglous, G., Theisen, H., & Vigil, S. (1993). Integrated Solid Waste Management. McGraw-Hill.

2. World Health Organization (WHO). (2015). Waste and Human Health: Evidence and Needs.

3. United Nations Environment Programme (UNEP). (2021). From Pollution to Solution: A Global Assessment of Marine Litter and Plastic Pollution.

4. Hoornweg, D., & Bhada-Tata, P. (2012). What a Waste: A Global Review of Solid Waste Management. World Bank.

5. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Kebijakan Pengelolaan Sampah Perkotaan.

6. ISWA (International Solid Waste Association). (2020). Landfill Gas Management Guidelines.