PojokPublik.id Jakarta – Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru Muhammad Mukhlisin, mendukung Rancangan Peraturan KPU tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 Tentang Kampanye Pemilihan Umum tertanggal 4 September 2023. Dalam rancangan tersebut, KPU membatasi yang dimaksud tempat pendidikan adalah perguruan tinggi yang meliputi: universitas; institut; sekolah tinggi; politeknik; akademi; dan/atau akademi
komunitas.
“Kami harap supaya rencana peraturan KPU ini disahkan dengan mempertimbangkan suara para pendidik yang telah bersusah payah membangun iklim pendidikan yang kondusif. Jangan ada kampanye di sekolah. Pemilu masih bisa berjalan dengan damai tanpa harus mengorbankan jerih payah para pendidik yang tulus mengajar murid,” ucapnya, pada saat webinar bertajuk ‘Kampanye Pemilu di Sekolah: Apa Kata Guru?‘ yang diinisiasi oleh Yayasan Cahaya Guru, Selasa, 5 September 2023.
Mukhlisin mencatat, pada pemilu sebelumnya, terdapat pelanggaran pidana yang melibatkan guru sebagai ASN dan kampanye di sekolah, seperti yang terjadi di sebuah SMP di Jakarta Barat pada tahun 2018. Ada juga kasus guru terlibat penyebaran hoax pada pemilu 2019 lalu. Jika pemilu dilaksanakan di sekolah, tentu hal tersebut sangat mengkhawatirkan.
Menurutnya, kampanye pemilu di sekolah dan madrasah dapat mengganggu, dan menimbulkan dampak negatif pada iklim keragaman di sekolah. Sebagian besar murid juga belum mempunyai hak pilih. Berbeda dengan kondisi mahasiswa di kampus atau perguruan tinggi yang telah memiliki kematangan bersikap dan hak pilih.
Sementara, Kepala Sekolah SDIT Ajimutu Global Insani Bekasi Rizal Lubis menuturkan, kampanye di sekolah sangat berisiko dan mengganggu ketentraman relasi antara murid, orang tua, guru, dan pihak yayasan.
“Kami berharap para pembuat kebijakan melihat langsung bagaimana kondisi di sekolah. Kami sudah cukup mengajarkan nilai-nilai demokrasi yang substansial melalui pembelajaran, dan praktik-praktik berdemokrasi di kelas.” ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Iman Zanatul Haeri selaku Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Sejak Mahkamah konstitusi (MK) memutuskan bahwa tempat pendidikan dapat dijadikan tempat kampanye,oleh karena itu, P2G dari awal jelas menolak.
“Kampanye di sekolah dan madrasah akan sangat berbahaya. Tidak mendidik secara politik, karena ada relasi kuasa yang terjadi didalamnya,” tegasnya.
Sementara itu, Ahmad Kamaludin Direktur Pusat Advokasi dan Perlindungan Profesi Guru Ikatan Guru Indonesia (IGI) menyatakan lembaganya adalah organisasi guru yang menjunjung tinggi netralitas dan tidak memihak kandidat atau parpol manapun. Oleh sebab itu, dia berharap bahwa KPU mengatur secara rinci pelaksanaan kampanye di sekolah.
“Dalam AD/ART organisasi profesi guru harus menjaga netralitas. Jika kampanye dilakukan di sekolah, kami mengkhawatirkan fanatisme pada salah satu calon. Bisa juga terjadi bentrokan antara satu sekolah dengan sekolah lain yang mendukung salah satu calon,” ujarnya.
Kendati demikian, Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Mansur, menyayangkan adanya keputusan MK tersebut. Namun, FSGI menyadari, bahwa keputusan tersebut adalah final dan mengikat. Oleh sebab itu, FSGI merekomendasikan kepada KPU untuk lebih mendetilkan dengan mengedepankan nilai-nilai pendidikan.
“Kami menyarankan juga kepada guru-guru dan kepala sekolah anggota kami untuk bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang kami yakini,” harapnya.
PB PGRI pun menegaskan hal yang sama, Endang Yuliastuti mengungkapkan, bahwa semua sekolah harus netral. PGRI telah membuka kerjasama dengan berbagai pihak untuk mencegah pemilu ini melukai dunia pendidikan.
“PGRI sudah menghubungi secara informal KPU dan Kemendagri untuk menjaga sekolah tetap netral, serta tidak mengikutsertakan siswa di bawah usia 17 tahun dalam tahapan pemilu. Kami juga telah MoU dengan kepolisian.” tegasnya.
Diketahui sebelumnya, Mahkamah Konstitusi 15 Agustus 2023 lalu mengabulkan sebagian permohonan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU UU Pemilu). Pada amar putusan bernomor 65/PUU-XXI/2023 tersebut maka Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu berbunyi;
“Pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini memberikan lampu hijau kepada pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu menggunakan fasilitas tempat pendidikan sepanjang mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye.
Atas keputusan itu, sejumlah organisasi profesi guru menyatakan dukungannya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai rencana peraturan yang membatasi kampanye di tempat pendidikan hanya untuk perguruan tinggi. Organisasi profesi guru itu diantaranya, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), dan Ikatan Guru Indonesia (IGI).
Mereka sepakat, bahwa kampanye di tempat pendidikan dini, dasar, dan menengah akan menimbulkan dampak negatif pada anak, dan iklim keragaman yang ada di sekolah.